Sabtu, 30 November 2019

Resensi Puisi "Hampa" karya Chairil Anwar


Analisis Puisi

Hampa
Karya: Chairil Anwar

Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Struktur Puisi
a.       Tema
     Tema dari puisi ‘Hampa’ karya Chairil Anwar ini ialah penggambaran dari rasa kesepian dan juga penantian dari sang penulis terhadap wanita yang dicintai.
b.      Diksi
     Diksi atau pemilihan kata yang digunakan dalam puisi ini ialah menggunakan kata-kata yang bersifat konotatif, terbukti pada larik: Lurus kaku pohonan. Tak bergerak, Memberat-mencekung punda, dan Udara bertuba. Setan bertempik. Sehingga membuat pembaca harus memaknai lebih lanjut maksud dari puisi tersebut.
c.       Imaji
     Imaji dalam puisi ‘Hampa’ ini menggambarkan perasaan kesepian yang penuh penantian untuk seseorang yang berarti dalam hidupnya. yang terbentuk dalam imaji perasaan, terbukti pada larik: Ini sepi terus ada. Dan menanti, yang berarti Meski terus merasa sepi, namun ia kan tetap menanti.
d.      Nada dan Suasana
     Nada dalam puisi ini menunjukkan kesedihan disertai rasa kesal karena kesepian terhadap penantiannya, terbukti pada larik-larik:
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
     Suasana yang tergambarkan dalam puisi ini ialah suasana yang tidak menentu karena menantikan seseorang yang sangat kita nantikan namun tak kunjung datang memberikan kepastian
e.       Majas atau Gaya Bahasa
     Paralelisme: merupakan pengulangan kata, terbukti pada larik: Segala menanti. Menanti. Menanti, Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak, Ini sepi terus ada. Dan menanti.
     Personifikasi: merupakan majas yang memunculkan karakteristik manusia kepada benda mati, sehingga benda mati tersebut seolah memiliki nyawa layaknya manusia, terbukti pada larik: Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
     Hiperbola: majas yang ditandai dengan penyataan yang berlebihan, terbukti pada larik: Udara bertuba. Setan bertempik
f.        Rima
     Persamaan pada konsonan “K” dan “T”
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas renggut
……….
Tambah ini menanti jadi mencekik
……….
Udara bertuba. Setan bertempik
g.      Amanat
     Pesan yang terkandung dalam puisi ini yaitu, jangan membuat orang lain menunggu atau menanti terlalu lama sesuatu yang tidak pasti, karena itu memberikan rasa yang tidak nyaman.













Jumat, 29 November 2019

Resensi Novel "Dear Nathan" karya Erisca Febriani

Resensi Novel “Dear Nathan”


Judul Novel : Dear Nathan
Nama Penulis : Erisca Febriani
Penerbit :best media
Cetakan : cetakan I
Tahun Terbit : maret 2016
Tebal : 528
ISBN : 978-602-6940-14-8

Ringkasan:
     Novel Dear Nathan ini menceritakan tentang kisah hidup anak SMA yang bernama Salma dan Nathan. Bermula dari Salma pindah sekolah ke SMA Garuda, yang membuat hidupnya berubah drastis. Teman-temannya memang tak sealim saat ia di sekolah lamanya. Beberapa dari mereka ada yang hobi mencari kerusuhan dan berantem. Salah satunya Nathan, laki-laki yang pernah menyelamatkan Salma dari hukuman guru karena terlambat dating ke sekolah.
     Nathan itu murid yang suka membuat ulah di sekolah. Dia sering jadi sasaran para guru karena ulahnya. Dia juga sering bertengkar dengan murid lainnya sampai masuk ke ruang BK.
     Sangat diluar dugaan ketika mengetahui bahwa seorang berandalan seperti Nathan itu bisa jatuh cinta pada Salma yang sangat patuh dengan aturan di sekolahnya. Bagi Nathan, terlambat adalah hal yang biasa.
     Selama mengenal Salma, Nathan baru mengetahui bahwa jatuh cinta pada wanita lugu seperti Salma itu cukup menguras tenaganya. Sifat cuek dan egoisnya terkadang membuat rumit hidup Nathan.
     Tidak hanya itu. Ada masalah lain yang lebih besar, yang sudah lama ia hadapi. Masalah keluarga tentunya. Nathan lahir dari keluarga broken home. Nathan sangat menyayangi ibunya, tetapi ia justru sangat membenci ayahnya atas perlakuan sang ayah pada ibunya. Nathan juga memiliki kembaran bernama Daniel. Daniel memiliki sifat yang terbalik dengan Nathan. Ibunya sangat menyayangi Daniel yang berprestasi, sehingga itu membuat ibunya membangga-banggakan Daniel.
     Ibunya memiliki penyakit sehingga menyebabkan harus dirawat. Ibunya tidak pernah sadar jika Daniel sudah meninggal. Setiap Nathan datang mengunjungi ibunya, ibunya selalu mengira bahwa Nathan itu adalah Daniel. Suatu hari, ketika ibunya bertemu dengan Nathan dan Salma, Nathan mencoba menyadarkan ibunya bahwa Nathan itu bukan Daniel. Justru itu membuat ibunya marah dan mengamuk. Nathan pun merasa sangat terpukul. Hingga akhirnya ibunya malah meninggal.
     Sepeniggal ibunya, ia terpaksa tinggal dengan ayahnya dan ibu tirinya. Ia juga kehilangan Salma karena salah paham. Ia juga kehilangan sekolahnya. Nathan terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena bertengkar. Itu semua membuat Nathan semakin stress dan terpukul. Apalagi saat dia tahu rumah milik keluarganya dijual oleh ayahnya sendiri.
     Seiring berjalannya waktu, Salma mencoba mencari ayahnya Nathan untuk menjelaskan apa yang terjadi dan juga Salma mengutarakan isi hati apa yang Nathan rasakan. Pada akhirnya, ayahnya tersadar lalu mereka berdua bertemu dan saling meminta maaf.
     Akhirnya, Nathan pun bisa menerima keluarga barunya dan juga kelahiran adik barunya dari ibu tirinya.

Komentar:
     Kelebihan novel ini ialah penulis mampu menunjukkan ciri khas dari satu persatu dari anak SMA di SMA Garuda tersebut. Banyak juga makna dan pesan moral yang diberikan dari novel ini. Seperti pengorbanan, persahabatan, kasih saying, dan juga arti memaafkan dan mau menerima kenyataan. Kelemahan dari novel ini ialah narasinya yang terlalu berputar-putar.
    

Minggu, 24 November 2019

Resensi Novel "Lelaki Harimau" karya Eka Kurniawan


Resensi Novel “Lelaki Harimau”


Judul Buku: Lelaki Harimau
Penulis: Eka Kurniawan
Genre: Fiksi
Halaman: 204 halaman

Ringkasan:
Novel ini menceritakan terbunuhnya Anwar Sadat oleh bocah bernama Margio tanpa adanya tanda-tanda perselisihan ketika senja tiba. Kematian Anwar Sadat membuat Kyai Jahro, Mayor Sadrah, dan Ma Soma penasaran. Sebab, di siang harinya, sebelum kematian Anwar Sadat, Margio sempat menenteng samurai bangka yang berkarat seperti sisa dari peperangan di pos ronda. Sedangkan bagi mereka tidak ada pembunuhan seprimitif itu.
     “Ada dua belas pembunuhan yang mereka kenal sepanjang sepuluh tahun terakhir sejarah kota, dan mereka mempergunakan golok atau pedang. Tak ada pistol, tak ada keris, apalagi gigitan. Ada ratusan kasus orang saling menggigit, terutama jika dua perempuan berduel, tapi tak satu pun berakhir dengan kematian.”
     Dalam keadaan terdiam, mereka melihat Margio datang ke arah mereka.
“Dan seorang bocah berjalan panik sempoyongan, dihantam kesembronoannya sendiri, dengan mulut dan gigi penuh warna merah, semacam moncong ajak meninggalkan sarapan paginya.”
     Margio memiliki hobi mabuk. Margio tidak hanya membunuh Anwar Sadat, tetapi ia juga membunuh ayahnya, Komar bin Syueb. Banyak orang yang tahu terutama Mayor Sadrah jika Margio dan ayahnya itu tidak akur. Ayahnya sering bermain kasar menggunakan tangannya untuk memukul anaknya meskipun hanya kejahilan sepele. Margio sering mencuri ayam milik ayahnya dengan alasan jengkel atas perbuatan ayahnya.
     Agung Yuda, teman Margio, salah satu saksi yang melihat betapa Margio senang tanpa ampun ketika pulang dan melihat ayahnya mati. Ia pikir dengan kematian Komar bin Syueb semua persoalan di rumahnya akan berakhir.
     Anwar Sadat memiliki tiga anak perempuan dari istrinya. Anak pertamanya, Laila, memiliki kenakalan seperti bapaknya. Untuk seorang anak berumur enam belas tahun, ia memiliki wajah cantik jelita dengan dada yang menggoda. Sehingga dada dan pahanya menjadi sasaran jahil teman dan juga gurunya. Hingga suatu hari Laila ditemukan ayahnya dalam kondisi mengandung bayi.
     Berbeda dengan anak sulungnya, Maesa Dewi, anak tercantik di antara mereka bertiga. Ia memiliki penampakan lebih santun dan memiliki otak yang cerdas. Ia tak sekurang ajar Laila. Ia membujuk ayahnya untuk mengirim dirinya ke suatu universitas. Sayangnya, di luar dugaan ia pulang tanpa gelar diploma. Justru malah menenteng bayi dan seorang pemuda pegangguran. Dengan sedikit hasrat moral yang tersisa, itulah bagaimana Anwar Sadat bisa menyayangi dan memuja anak bungsunya, yang tak menunjukkan kecenderungan nakal berlebihan. Sebab, setiap semester ia mendapat laporan bahwa gurunya justru memuji kecerdasannya.
     Ketika mengetahui kematian Anwar Sadat, tiga anaknya dan istrinya merasa terpukul sekali.
     “Kasia duduk sayu, lebih kusut dari hari biasanya, bersimpuh di lantai menggigiti ujung kain yang bergelung di pangkuannya, tak ada yang tahu mengapa ia membawa kain, barangkali ia ingin ikut tenggelam dalam kematian. Dan di sampingnya Si Janda Laila, mencoba menghibur ibunya dengan cara sia-sia, sebab dirinya sendiri membutuhkan satu penghiburan, baru terbangun dari ambruk yang tak sadar sebelum orang memercikkan air putih ke mukanya. Yang paling terguncang adalah Maesa Dewi, masih menggerung dengan tangis meletup-letup, serasa ada air mendidih di dalam lambungnya, mendekap bayi kecilnya yang menangis tak karu-karuan, sebab perempuan inilah yang pertama melihat Anwar Sadat terpenggal leher.”
     Kematian Anwar ini tepat pukul empat sepuluh menit, karena sepuluh menit sebelumnya ia bersama beberapa temannya dan sepuluh menit setelahnya ia bersama mereka pula dalam keadaan mengejutkan. 
     Melalui pengakuan Margio kepada polisi, ia memang membunuh Anwar Sadat dengan cara menggigit putus urat lehernya. Sebab, tidak ada senjata lain untuk membunuh Anwar Sadat. awalnya ia ingin memukul si Anwar Sadat, tetapi ia meragukan pukulannya sendiri apakah bisa membuat Anwar mati atau tidak.
     Ternyata pikiran untuk membunuh Anwar Sadat itu sesuatu hal yang tak terfikirkan sebelumnya. Semacam wahyu yang cemerlang yang meletup di otaknya.
     "Ia bilang ada isi di dalam tubuhnya, sesuatu yang tak sekadar jeroan usus, yang menggelosor keluar dan menggerakkan seluruh raganya, mengendalikannya, dan mengajak dirinya membunuh Anwar Sadat. Sesuatu yang sangatlah kuat, ia berkata pada polisi, sehingga ia memang tak butuh senjata mana pun. Ia mendekap erat Anwar Sadat, yang terkejut dan berusaha meronta, namun dekapan itu kuat dibawah lengannya, tangan Margio menjuntai ke atas merenggut rambut Anwar Sadat bikin kepalanya tak banyak kutik. Saat itulah Margio menancapkan gigi-giginya di leher kiri Anwar Sadat, seperti ciuman kekasih yang membara ke permukaan kulit di bawah telinga, mendengus dan hangat penuh nafsu, dan lelaki itu masih terpana untuk tahu apa yang diperbuat Margio. Meski begitu, rasa sakit yang sejenak, menusuk menyentak dadanya, membuat Anwar Sadat menggeliat dengan kaki gaduh menendang kursi, menggulingkannya. Suara kursi menghantam lantai dan pekikan kecil Anwar Sadat membangunkan Maesa Dewi yang terbangun dan bertanya dari kamar, “Papa, apa itu?”.
     Anwar Sadat tak ada daya untuk menjawabnya, kecuali lolongan kasar mangsa yang hampir binasa. Margio membalasnya dengan satu gigitan mematikan, mencengkeram dan merenggut segumpal daging, yang membuat rompal lehernya. Segumpal daging itu tercerabut dari sana, dengan serat-serat koyak segar menjulur tipis, dan darah menyembur tak ada kendali. Sepotong daging tanpa rasa, kini tertinggal di mulut Margio yang segera menyepahkannya ke lantai dan berguling-gulinglah itu di sana. Anwar Sadat mulai terbang, kerongkongannya bunyi sendiri, wajah Margio mandi darah memancur dari sana.
     “Papa, apa itu?” Maesa Dewi mengulang pertanyaannya. Anwar Sadat telah mengepakkan sayap dan terseret arus badai ketidaksadaran. Margio masih mendekapnya, menjaganya dari tenggelam lebih jauh dan jatuh. Demi mendengar suara Maesa Dewi, nada tinggi dan penuh kecemasan, serta bebunyi selimut yang dihentakkan dan ranjang berderak serta kaki menjejak ke lantai, Margio kembali menyarangkan giginya ke rekahan merah gelap dan basah itu, ciuman kedua yang lebih mematikan dan dikuasai nafsu. Mengatupkan rahang kuat, memperoleh segumpal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia melakukannya kembali, perulangan yang jadi monoton tanpa irama".
     Ketika Margio ditangkap polisi usai membunuh Anwar Sadat, ia dimasukkan ke dalam penjara. Dengan rasa tak berdosa dan perasaan yang tenang, ia mengakui bahwa bukan dirinya yang membunuh Anwar Sadat, justru ada sosok harimau putih serupa angsa yang ganas didalam tubuhnya. 
     Hanya Mameh saja yang mengetahui bahwa ada sosok harimau didalam tubuh Margio. Hanya ada satu pertanda saja yang tampak didalam kegelapan. Mata Margio akan berubah mendadak berwarna kuning, serupa milik kucing.
     Sewaktu kecil, Margio seing bermain ke kampung kakeknya. Dari apa yang diceritakan Ma Muah, banyak orang di kampung itu yang memiliki harimau. Sebab warisan yang turun temurun karena perkawinan dengan harimau. Harimau itu selalu menjadi penjaga dari segala marabahaya. Namun, hanya lelaki yang kawin dengan harimau, meski tak semua harimau itu betina.
     Harimau itu bisa datang disaat ia suka kepada seseorang, lalu orang itu akan menjadi pemiliknya. Tapi jika pemiliknya mati, harimau itu akan diwariskan ke anaknya. Seperti yang dialami Margio yang bermula dari kematian kakeknya, lalu turun temurun ke ayahnya.

Komentar:
     Novel ini memiliki alur maju mundur yang cepat. Novel ini juga dibuat Eka Kurniawan terkesan gelap dan muram sehingga pembacanya seperti ikut terbawa dalam cerita.