Resensi Novel “Lelaki
Harimau”
Genre: Fiksi
Halaman: 204 halaman
Ringkasan:
Novel ini menceritakan terbunuhnya Anwar Sadat oleh
bocah bernama Margio tanpa adanya tanda-tanda perselisihan ketika senja tiba. Kematian Anwar Sadat membuat Kyai Jahro, Mayor Sadrah, dan Ma Soma penasaran. Sebab, di
siang harinya, sebelum kematian Anwar Sadat, Margio sempat menenteng samurai bangka
yang berkarat seperti sisa dari peperangan di pos ronda. Sedangkan bagi mereka
tidak ada pembunuhan seprimitif itu.
“Ada dua belas pembunuhan yang mereka
kenal sepanjang sepuluh tahun terakhir sejarah kota, dan mereka mempergunakan
golok atau pedang. Tak ada pistol, tak ada keris, apalagi gigitan. Ada ratusan
kasus orang saling menggigit, terutama jika dua perempuan berduel, tapi tak
satu pun berakhir dengan kematian.”
Dalam keadaan
terdiam, mereka melihat Margio datang ke arah mereka.
“Dan seorang bocah berjalan panik sempoyongan,
dihantam kesembronoannya sendiri, dengan mulut dan gigi penuh warna merah,
semacam moncong ajak meninggalkan sarapan paginya.”
Margio
memiliki hobi mabuk. Margio tidak hanya membunuh Anwar Sadat, tetapi ia juga
membunuh ayahnya, Komar bin Syueb. Banyak orang yang tahu terutama Mayor Sadrah
jika Margio dan ayahnya itu tidak akur. Ayahnya sering bermain kasar
menggunakan tangannya untuk memukul anaknya meskipun hanya kejahilan sepele. Margio
sering mencuri ayam milik ayahnya dengan alasan jengkel atas perbuatan ayahnya.
Agung Yuda,
teman Margio, salah satu saksi yang melihat betapa Margio senang tanpa ampun
ketika pulang dan melihat ayahnya mati. Ia pikir dengan kematian Komar bin
Syueb semua persoalan di rumahnya akan berakhir.
Anwar Sadat
memiliki tiga anak perempuan dari istrinya. Anak pertamanya, Laila, memiliki
kenakalan seperti bapaknya. Untuk seorang anak berumur enam belas tahun, ia
memiliki wajah cantik jelita dengan dada yang menggoda. Sehingga dada dan
pahanya menjadi sasaran jahil teman dan juga gurunya. Hingga suatu hari Laila ditemukan
ayahnya dalam kondisi mengandung bayi.
Berbeda dengan
anak sulungnya, Maesa Dewi, anak tercantik di antara mereka bertiga. Ia memiliki
penampakan lebih santun dan memiliki otak yang cerdas. Ia tak sekurang ajar
Laila. Ia membujuk ayahnya untuk mengirim dirinya ke suatu universitas. Sayangnya,
di luar dugaan ia pulang tanpa gelar diploma. Justru malah menenteng bayi dan
seorang pemuda pegangguran. Dengan sedikit hasrat moral yang tersisa, itulah
bagaimana Anwar Sadat bisa menyayangi dan memuja anak bungsunya, yang tak
menunjukkan kecenderungan nakal berlebihan. Sebab, setiap semester ia mendapat
laporan bahwa gurunya justru memuji kecerdasannya.
Ketika mengetahui
kematian Anwar Sadat, tiga anaknya dan istrinya merasa terpukul sekali.
“Kasia duduk sayu, lebih kusut dari hari
biasanya, bersimpuh di lantai menggigiti ujung kain yang bergelung di
pangkuannya, tak ada yang tahu mengapa ia membawa kain, barangkali ia ingin
ikut tenggelam dalam kematian. Dan di sampingnya Si Janda Laila, mencoba
menghibur ibunya dengan cara sia-sia, sebab dirinya sendiri membutuhkan satu
penghiburan, baru terbangun dari ambruk yang tak sadar sebelum orang
memercikkan air putih ke mukanya. Yang paling terguncang adalah Maesa Dewi,
masih menggerung dengan tangis meletup-letup, serasa ada air mendidih di dalam
lambungnya, mendekap bayi kecilnya yang menangis tak karu-karuan, sebab
perempuan inilah yang pertama melihat Anwar Sadat terpenggal leher.”
Kematian Anwar
ini tepat pukul empat sepuluh menit, karena sepuluh menit sebelumnya ia bersama
beberapa temannya dan sepuluh menit setelahnya ia bersama mereka pula dalam
keadaan mengejutkan.
Melalui pengakuan Margio kepada polisi, ia memang membunuh Anwar Sadat dengan cara menggigit putus urat lehernya. Sebab, tidak ada senjata lain untuk membunuh Anwar Sadat. awalnya ia ingin memukul si Anwar Sadat, tetapi ia meragukan pukulannya sendiri apakah bisa membuat Anwar mati atau tidak.
Ternyata pikiran untuk membunuh Anwar Sadat itu sesuatu hal yang tak terfikirkan sebelumnya. Semacam wahyu yang cemerlang yang meletup di otaknya.
"Ia bilang ada isi di dalam tubuhnya, sesuatu yang tak sekadar jeroan usus, yang menggelosor keluar dan menggerakkan seluruh raganya, mengendalikannya, dan mengajak dirinya membunuh Anwar Sadat. Sesuatu yang sangatlah kuat, ia berkata pada polisi, sehingga ia memang tak butuh senjata mana pun. Ia mendekap erat Anwar Sadat, yang terkejut dan berusaha meronta, namun dekapan itu kuat dibawah lengannya, tangan Margio menjuntai ke atas merenggut rambut Anwar Sadat bikin kepalanya tak banyak kutik. Saat itulah Margio menancapkan gigi-giginya di leher kiri Anwar Sadat, seperti ciuman kekasih yang membara ke permukaan kulit di bawah telinga, mendengus dan hangat penuh nafsu, dan lelaki itu masih terpana untuk tahu apa yang diperbuat Margio. Meski begitu, rasa sakit yang sejenak, menusuk menyentak dadanya, membuat Anwar Sadat menggeliat dengan kaki gaduh menendang kursi, menggulingkannya. Suara kursi menghantam lantai dan pekikan kecil Anwar Sadat membangunkan Maesa Dewi yang terbangun dan bertanya dari kamar, “Papa, apa itu?”.
Anwar Sadat tak ada daya untuk menjawabnya, kecuali lolongan kasar mangsa yang hampir binasa. Margio membalasnya dengan satu gigitan mematikan, mencengkeram dan merenggut segumpal daging, yang membuat rompal lehernya. Segumpal daging itu tercerabut dari sana, dengan serat-serat koyak segar menjulur tipis, dan darah menyembur tak ada kendali. Sepotong daging tanpa rasa, kini tertinggal di mulut Margio yang segera menyepahkannya ke lantai dan berguling-gulinglah itu di sana. Anwar Sadat mulai terbang, kerongkongannya bunyi sendiri, wajah Margio mandi darah memancur dari sana.
“Papa, apa itu?” Maesa Dewi mengulang pertanyaannya. Anwar Sadat telah mengepakkan sayap dan terseret arus badai ketidaksadaran. Margio masih mendekapnya, menjaganya dari tenggelam lebih jauh dan jatuh. Demi mendengar suara Maesa Dewi, nada tinggi dan penuh kecemasan, serta bebunyi selimut yang dihentakkan dan ranjang berderak serta kaki menjejak ke lantai, Margio kembali menyarangkan giginya ke rekahan merah gelap dan basah itu, ciuman kedua yang lebih mematikan dan dikuasai nafsu. Mengatupkan rahang kuat, memperoleh segumpal daging di mulutnya, dan menyepahkannya ke lantai. Ia melakukannya kembali, perulangan yang jadi monoton tanpa irama".
Ketika Margio ditangkap polisi usai membunuh Anwar Sadat, ia dimasukkan ke dalam penjara. Dengan rasa tak berdosa dan perasaan yang tenang, ia mengakui bahwa bukan dirinya yang membunuh Anwar Sadat, justru ada sosok harimau putih serupa angsa yang ganas didalam tubuhnya.
Hanya Mameh saja yang mengetahui bahwa ada sosok harimau didalam tubuh Margio. Hanya ada satu pertanda saja yang tampak didalam kegelapan. Mata Margio akan berubah mendadak berwarna kuning, serupa milik kucing.
Sewaktu kecil, Margio seing bermain ke kampung kakeknya. Dari apa yang diceritakan Ma Muah, banyak orang di kampung itu yang memiliki harimau. Sebab warisan yang turun temurun karena perkawinan dengan harimau. Harimau itu selalu menjadi penjaga dari segala marabahaya. Namun, hanya lelaki yang kawin dengan harimau, meski tak semua harimau itu betina.
Harimau itu bisa datang disaat ia suka kepada seseorang, lalu orang itu akan menjadi pemiliknya. Tapi jika pemiliknya mati, harimau itu akan diwariskan ke anaknya. Seperti yang dialami Margio yang bermula dari kematian kakeknya, lalu turun temurun ke ayahnya.
Komentar:
Novel ini memiliki alur maju mundur yang cepat. Novel ini juga dibuat Eka Kurniawan terkesan gelap dan muram sehingga pembacanya seperti ikut terbawa dalam cerita.