Minggu, 10 November 2019

Resensi Buku Kumpulan Cerpen "Sepasang Sepatu Tua” karya Sapardi Djoko Damono


Resensi Cerpen “Sepasang Sepatu Tua”
Judul: Sepasang Sepatu Tua: Sepilihan Cerpen
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Ringkasan:
     Kisah ini dibuka melalui cerpen pertama yang berjudul Sepasang Sepatu Tua dengan latar cerita tokoh Aku yang membeli sepatu di China Town, San Fransisco, yang berwarna merah kecoklatan dengan sol tebal dan kuat, yang mirip bentuknya dengan sepatu bot. Berawal dari sepatu yang ia pakai sejak berangkat dari Indonesia, tiba-tiba jebol dan solnya menganga. Menurut seorang Ph.D.candidate, sepatu itu buatan India yang terbuat dari kulit sapi. Tetapi tokoh Aku tidak percaya. Sebab, kulit sapi mana mungkin dijadikan sepatu untuk diinjak-injak. Di India, sapi dianggap hewan suci.

     Semenjak kejadian jam tangan yang rusak menimpanya, ia tidak ingin lagi untuk memperbaiki sepatunya yang rusak. Ketika ia tahu sepatunya rusak, ia langsung mencari took sepatu dan memasukinya. Ia tertarik dengan salah satu sepatu yang warna dan bentuknya memikat. Tapi harganya mahal dan ia tidak punya uang yang cukup. Lalu, ia memutuskan untuk membeli sepatu itu. Ada dua alasan mengapa ia membeli sepatu itu. Pertama, ia tidak perlu merasa bersalah membeli sepatu itu dan menginjak-injak walaupun itu sepatu kulit binatag suci; kedua, sepulangnya ia ke Indonesia, ia bias menyombongkan diri telah membeli sepatu Jerman di Amerika, di sebuah toko Cina.

     Cerpen selanjutnya berjudul Rumah-Rumah, yang menceritakan sebuah rumah yang merasakan kesedihan dan kekesalan akan kelahirannya yang belum sempurna alias proses pembangunannya belum selesai.

     Rumah itu merasakan kesal lantaran ia dibangun untuk dijadikan kontrakan saja oleh pemiliknya, bukan malah menetap di rumah itu. Si Rumah sebenarnya jika bias memilih ia tidak ingin menjadi sebuah rumah. Sebab, ia tidak bisa memilih siapa penghuninya dan ia tidak bisa mengikuti kemana sang pemilik rumah pergi.

     Rumah itu memiliki luas 150 meter persegi, dengan hampir semua ditanami banguna kecuali tiga kali enam meter persegi di depannya.

     Selanjutnya, cerpen berjudul Arak-Arakan Kertas, yang menceritakan tentang suasana rumah dari tokoh Aku yang di depan rumahnya banyak anak kecil. Macam macam jenisnya. Ada yang merunduk, menari-nari, lari-lari kecil bolak balik ke depan ke belakang, ada juga yang bermain ular naga. Namun, anak-anak itu semua terbuat dari kertas. 

     Suatu malam, tokoh Aku merasakan anak-anak kertas itu menguasai pikirannya. Anak-anak itu sering menimbulkan suara kresek-kresek dari tubuh mereka meski suaranya terdengar lirih. Mereka terbuat dari bermacam-macam kertas. Ada yang dari kertas koran bekas, bungkus rokok, ada yang warnanya jingga, dan sebagainya. Tokoh Aku merasa senang karena anak-anak itu menghangatkan suasana di sekitarnya. 

     Yang awalnya ia kira akan diajak bicara, ternyata ia diajak untuk keliling kompleks. Tetapi, lama kelamaan ia merasa semakin asing. Ketika ia mengikuti arak-arakan itu, ia merasa sedikit demi sedikit tubuhnya berubah menjadi kertas. Lalu, ia merasa sedang berbaris dengan arak-arakan itu menuju lapangan tempat pembakaran kertas.
 
     Selanjutnya, cerpen berjudul Seorang Rekan di Kampus Menyarankan Agar Aku Mengusut Apa Sebab Orang Memilih Menjadi Gila. Cerpen ini memberi nasehat untuk kita agar sebagai manusia jika bertemu dengan orang gila sebaiknya menanyakan apa sebab dari orang itu menjadi gila.

Komentar:
     Kumpulan cerpen ini memiliki cerita-cerita yang unik sehingga harus dipahami betul maksud dari cerita-cerita tersebut. Kumpulan cerpen ini ada beberapa yang juga memberikan pesan moral bagi para pembacanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar