RESENSI “SENYUM KARYAMIN”
Judul: Senyum Karyamin
Karya: Ahmad Tohari
Tebal: 88 Halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Kisah ini dibuka melalui
cerpen yang pertama yang berjudul Senyum Karyamin dengan latar cerita tentang
lelaki pengangkat batu yang bernama Karyamin. Karyamin dan kawan kawannya harus
mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material. Para tengkulak yang senang
mempermainkan harga tidak memikirkan nasib karyamin dan teman temannya yang
menunggu para tengkulak itu untuk membayar batu batunya. Karyamin dan teman
temannya itu senang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri.
Itu adalah cara mereka untuk bertahan hidup.
“Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan
terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap
tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan” (halaman 3).
Karyamin mempunyai istri
yang bernama Saidah. saidah seorang pedagang yang selalu sabar menanti uang
hasil dari batu yang dikumpulkan Karyamin. Hidup mereka sangat bergantung pada
tengkulak. Karyamin juga rela tidak makan demi istrinya. Kehidupan mereka
seperti orang miskin yang bergantung ada orang lain. Yang membedakan hanyalah
mereka bergantung pada tengkulak.
Cerpen selanjutnya
berjudul Jasa-Jasa Buat Sanwirya. Cerpen ini menceritakan tentang Sanwirya
seorang penderes (penyadap nira kelapa) yang terjatuh ketika menyadap nira
kelapa. Sanwirya memiliki 3 orang teman yang merasa kasihan padanya, mereka
sibuk memikirkan jasa apa yang patut mereka berikan pada Sanwirya yang sedang
tergeletak tak berdaya itu. Padahal, jasa apapun yang mereka berikan akan
sia-sia karena Sanwirya telah sekarat mendekati ajalnya.
“Syukur! Marilah. Ada
banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes itu. Menyobek kaus yang sedang
kupakai untuk membalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah
kulakukan. Oh, jangan tergesa-gesa, kita akan menentukan terlebih dahulu demi
apa rasa kasihan itu kita adakan” (halaman 8).
Tetapi sebenarnya
dibutuhkan oleh Sanwirya bukanlah jasa-jasa kawannya, melainkan jasa modin
karena Sanwirya telah hampir ajal dan takkan tertolong dengan jasa-jasa
kawannya yang kesana kemari mencari makanan dan polis asuransi.
Cerpen ketiga berjudul Si Minem Beranak Bayi.
Cerpen ini menceritakan tentang lelaki bernama Kasdu yang sedang berjalan di
perbukitan. Namun, selama ia berjalan, ia teringat akan Minem, istrinya yang
masih berusia empat belas tahun yang baru saja melahirkan bayi perempuan. Dan
ia juga teringat kesalahannya sendiri, yang menyebabkan Minem terbaring bersama
bayi tak berdaya di sampingnya.Bayi itu anak dari mereka yang terlahir dengan
usia belum genap tujuh bulan. Minem terlalu dini melahirkan dikarenakan Kasdu
yang malas mengambil air ke seberang desa. Sehingga membuat Minem yang harus
mengambilnya.
“Bayi sebesar lengan itu
terpaksa dari rahim Minem ketika Minem terjatuh selagi membawa tembikar penuh
air. Kakinya tergelincir disebuah tanjakan dan Minem terguling-guling ke bawah.
Tembikar yang dibawahnya pecah, airnya menyiram tanah yang sudah lama
kerontang. Minem yang kelenger dipapah orang pulang ke rumah (halaman 13).”
Kasdu sangat
mengkhawatirkan bayinya yang sangat kecil dan istrinya yang lemah setelah
melahirkan. Ia juga takut jika mertuanya akan memarahiny karena ia malas
mengambil air ke seberang desa. Ternyata mertua laki-lakinya tidak menyangka
jika Minem bisa melahirkan bayi dengan usia empat belas tahun. Sedangkan mertua
perempuannya berusaha mengingatkan bahwa ia dulu melahirkan Minem dalam usia
empat belas tahun pula.
Cerpen keempat dengan
judul Surabanglus bercerita tentang dua orang pemuda penebang kayu yaitu Kimin
san Suing. Mereka sedang menghindar dari kejaran polisi kehutanan. Dengan
keadaan lemas dan duduk bersandar disebuah tonggok. Letih dirasa oleh mereka karena
harus lari terpontang-panting agar terselamatkan. Kini mereka merasa aman
karena berhasil sembunyi didalam sebuah semak belukar puyengan.
Mereka merasakan haus
dan lapar, dan disitu terdapat sebatang pohon singkong yang tumbuh. Singkong
tersebut belum empuk, karena merasa lapar Suing tetap ingin memakannya. Sudah
di peringatkan untuk jangan memakannya tetap saja ia menghiraukannya. Suing mengeluarkan
singkong tersebut dari kerapian. Ketika Suing hendak memakannya, tiba-tiba dari
arah belakang Kimin menepis tangan Suing yang sedang menggenggam singkong.
Karena pada saat itu juga Kimin sadar akan singkong tersebut adalah singkong
surabanglus atau sejenis singkong beracun.
Ketika Kimin sedang
berusaha menjelaskan, raut wajah Suing berubah. Ia menjadi pucat pasi dan
matanya tidak berkedip. Mulutnya setengah terbuka dengan bibir bergetar, nafasnya
pendek-pendek, dan tubuhnya menggigil. Melihat keadaan Suing, Kimin merasakan cemas
dan bingung. Dengan segera Kimin mencari apa saja yang bisa membuat Suing
kembali seperti sedia kala. Ia keluar dari semak belukar dan tanpa sengaja
menemukan sebatang pohon pisang. Dengan parang ditebasnya batang pisang itu,
kulit batangnya yang basah dilepas dalam potongan kecil-kecil lalu dibawanya ke
tempat suing tergeletak. Sepotong demi sepotong terus disuapkan ke mulut
temannya. Kimin berhasil membuat Suing menjadi lebih tenang. Wajah topengnya
berangsur hidup. Namun Suing terjengkang kembali, ketika dia berusaha duduk.
Kedua tangannya masih gemetar. Akhirnya Kimin memutuskan untuk pergi mencari
air dan makanan ke kampong terdekat. Sebelum berangkat Kimin berpesan supaya
Suing tidak memakan singkong bakar itu.
Cerpen kelima yang
berjudul Tinggal Matanya Berkedip-Kecil diceritakan tokoh aku sebagai tokoh
utama yang memiliki seorang ayah dan peliharaan kerbau yang bernama si Cepon. Si
Cepon bertugas membajak sawah milik majikannya. Suatu ketika Cepon tidak
seperti biasanya. Tiba-tiba si Cepon mogok kerja dan majikannya memanggil Musgepuk.
Musgepuk ini adalah seorang pawang segala macam hewan ternak. Ia akan membantu
agar Cepon kembali seperti sedia kala.
Musgepuk merasa yakin
dan sombong akan mengobati si Cepon. Ia meremehkan persoalan menjinakkan
kerbau. Bahkan merasa sangat bangga dan percaya diri dapat menjinakkansi Cepon.
Cara yang di lakukan tidak berhasil bahkan akhirnya si Cepon mati. Ketika di
obati malah Cepon terluka dan berlumuran darah keluar dari bagian tubuhnya yang
berujung kematian. Musgepuk tidak memiliki rasa belas kasih terhadap si Cepon.
Cerpen keenam dengan
judul Ah Jakarta ini bercerita diawal tentang tokoh aku yang kedatangan teman karibnya
malam hari. Ia datang dengan jalan yang terpincang-pincang, lima jari kanannya
yang luka. Aku menginginkan ia untuk bercerita tentang apa yang terjadi. Lalu
ia mulai bercerita, sedan yang disewanya menabrak tiang listrik, dan hanya ia
yang selamat. Luka di kakinya disebabkan tergores kaca belakang ketika ia
berusaha lolos keluar.
Ia meminta koran
kemarin, lalu aku membacanya. Karibku itu ternyata seorang buronan. Ia juga
menceritakan bagaimana kelompoknya memulai operasi dengan pengintaian yang
bermula dari toko elektronik. Bila ada orang membeli TV warna atau video dia
akan dibuntuti sampai rumahnya.
Tengah malam ketika
karibku itu sudah nyenyak dalam kamar yang disediakan, istriku bertanya banyak
tentang dia. Istriku tidak terima kalau ada bangkai manusia yang pernah
menginap dirumah kami.Pagi-pagi setelah subuh, aku tidak menemukan karibku di
kamar. Aku menemukan bekas bungkus rokok dengan tulisan di dalamnya: “Terima
kasih. Aku segera pergi supaya tidak merepotkan kamu.”
Sejak saat itu aku senang pergi ke pasar.
Aku selalu mengecek berita yang ada. Dalam seminggu sudah banyak mayat yang
diperiksa. Apa yang ku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Karibku mengapung di
kelokan kali Serayu di bawah jalan raya. Aku mengaku kalau itu adalah karibku.
Polisi menanyakan identitasnya, lalu aku pun menyebutkan identitas seenak
perutku.
Polisi pergi dengan
wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Lama aku berdiri bingung tak tahu
harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan kawat casssanova.Bila
bukan karena tempurung yang tergeletak mungkin aku masih diam. Aku mulai
memandikannya. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur
ke utara. Mayat itu kutarik dan kumasukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut.
Kusembahyangkan kemudian kumiringkan ke barat. Daun-daun jati kututupkan, lalu
pasir kutimbunkan. Sebuah batu sebesar kepala aku buat sebagai nisan. Setelah
itu aku tinggalkan tepian kali Serayu. Ah, Jakarta.
Cerpen ketujuh berjudul
Blokeng bercerita tentang seorang wanita bernama Blokeng yang memiliki keterbelakangan
mental. Blokeng hamil diluar nikah. Membuat warga geger akan kelakuannya. Entah
siapa yang menghamili nya. Semua warga resah dan kaget serta berusaha mencari
pelakunya. Ketika ditanya oleh hansip atau siapapun kepada Blokeng,ia hanya
menjawab dengan kata “mbuh".
Sampai saat melahirkan
pun belum diketahui siapa ayahnya. Namun ketika pak Lurah dari kampung Blokeng
berniat untuk mengasuh anaknya dan menganggap dirinya menjadi ayahnya. Blokeng
menikah dan menunjukkan ciri lelaki yang menghamilinya itu tidak botak. Kemudia
mendengar penuturan Blokeng seluruh lelaki di desanya mencukur rambutnya hingga
botak. Petunjuk lain yang diberikan yaitu lelaki yang memperkosanya membawa
senter di malam hari dan para warga lelakipun tidak membawa senter lagi
melainkan api yang ditaruh di dalam kayu (obor). Petunjuk lain yang diberikan
adalah yang melakukan menggunakan sandal jepit, dan lagi-lagi seluruh lelaki di
desanya tidak ada yang menggunakan sandal jepit.
Cerpen ke delapan
berjudul Sukuran Sutabawor. Menceritakan bahwa Sutabawor mengadakan sykuran
dengan menyembelih tiga ekor ayam yang tidak terlalu besar. Sutabawor mengadakan
syukuran tersebut karena beban berat dalam hidupnya kini telah terangkat.
Dikatakan oleh sumber berita terpercaya bahwa Sutabawor memiliki pohon jengkol
yang tumbuh besar di pekarangan rumahnya.
Setiap pohon itu
berbunga pasti banyak serangga yang hinggap di bunga itu. Menurut ilmu para
petani jika bunga dihinggapi banyak serangga, maka bunga tersebut dapat
berbuah. Namun tidak bagi pohon jengkol Sutabawor. Ia lelah menunggu pohon
tersebut berbuah, lalu ia mengundang mertuanya supaya pohon tersebut dibacakan
mantra. Dan benar, pohon Sutabawor berbuah lebat. Ia teramat senang sehingga
mengadakan syukuran tersebut.
Banyak penduduk yang
bertanya bagaimana pohon tersebut dapat berbuah. Ia menceritakan bahwa
mertuanya membacakan mantra yang berbunyi jika pohon tersebut tidak mau berbuah
maka akan ditebang pohon itu dan dijadikan tutup lahat makam priyayi jaman
akhir. Priyayi jaman akhir yaitu orang-orang zaman penjajahan belanda yang
mengapdi untuk penjajah, bukan untuk kawula.
Mereka bersikap ningrat, maunya di layani dan tidak mau bergaul dengan orang
biasa. Pokoknya priyayi atau orang jaman dulu itu menurut pohon jengkol
demikian tak berharga karena miskin akan nilai kemanusiaan yang sejati.
Cerpen ke Sembilan
berjudul Rumah Yang Terang. Menceritakan tentang listrik yang sudah masuk di
kampong tokoh yang disebut sebagai aku. Sudah banyak manfaat yang diberikan
oleh listrik. Sebuah tiang lampu tertancap di rumah aku. Bersama dengan
teman-teman tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah-rumah terdekat.
Namun, sampai sekian lama rumahnya masih tetap gelap. Ayahnya tidak mau
memasang listrik sehingga banyak tetangga yang mulai berasumsi negative tentang
ayahnya.
Ia yang bekerja sebagai
propagandis pemakaian kondom dan spiral bisa saja membayar listrik. Tetapi
tidak ia lakukan demi ayahnya. Ia sering membujuk mengapa ayahnya tidak mau
menggunakan listrik. Pernah ia katakan “apabila ayah enggan mengeluarkan uang,
maka akulah yang akan membayarnya”. Tasbih di tangan ayahya berhenti berdecik,
ayahnya tersinggung. “jadi kamu seperti semua orang yang mengatakan ayah bakhil
dan memelihara tuyul?” dan ia pun menyesal.
Ketika ayahnya sakit,
beliau tidak mau dirawat dirumah sakit. Ia bertanya apakah alasannya karena
takut akan sinar listrik yang berada dirumah sakit. Ia mengatakan akan meminta
kamar ayahnya diterangi oleh lilin saja jika begitu. Tanggapan ayahnya adalah
rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah memucat. Lagi-lagi
ia menyesal. “sudahlah nak, kamu lihat sendiri aku hampir mati, sepeninggalku
nanti kamu bisa memasang listrik dirumah ini.” Dan itu adalah ucapan terakhir
ayahnya untuk tokoh aku.
Seratus hari setelah
kematian ayahnya orang-orang yang bertahlil dirumahnya sudah duduk dibawah
lampu neon 20 watt. “Nah, lebih enak dengan listrik, ya mas?”. “Ayahku memang
tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan istrik akan mengundang
keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiska semasa hidup maka beliau khawatir
tidak akan ada cahaya baginya di alam kubur.” Semua tamu malah menunduk dan ia
pun ikut menunduk.
Cerpen ke sepuluh
berjudul Kethus. Menceritakan tentang seseorang yang belagak
sombong, orang tersebut bernama Kethus. Karena kethus bermimpimpi Nunggang
Macan yang berarti akan menjadi penguasa.
Kethus yang semula lugu mendadak besar kepala karena mendapat amanat
dari ketua RT untuk mencari buntut tikus yang satu buntut tikusnya dihargai
Rp100.
Dawet sang istri merasa
mual dan ingin muntah ketika sang suami bergaya seperti orang kaya dan
berbicara ngawur. Dawet pun merasa sang suami berperilaku aneh dan menudh bahwa
uang yang diberi oleh kethus kepada dawet adalam uang hasil curian atau maling.
Dan kethus pun berbicara kepada dawet
“Sepanjang mengenal si Kethus, pernahkan kamu mendengar si Kethus jadi
maling? “
Akhirnya dawet pun
bertahan dan mengerti uang yang diberi suaminya berasal dari kas desa. Dengan
uang itu warga dirangsang dan digelitik agar mau menghimpun buntut tikus sebanyak
mungkin. Dan ketika kenthus berkata
“Para petani sudah terkena wabah penyakit masa bodo
sehingga segalanya perlu dirangsang rangsang “
Ketika para warga sudah
bermunculan dirumah kethus membawa buntut tikus. Kethus berlagak tak acuh. Dia
sibuk menata meja dan kursi buat dirinya sendiri. Lalu duduk penuh gaya,
ditangannya ada pensil dan ketas kumal. Dalam hati, kethus berdoa kiranya dia
tidak lupa bagaimana membuat tulisan ceker ayam. Banyak yang berkata
“He, thus. Aku dapat
lima puluh buntut. Sini, bayar lima ratus “ kata khorim sambil maju
“Aku dapat empat puluh
tiga “
“Aku dua puluh enam “
Kenthus tetap duduk lalu
masuk kerumah dengan santai. Hingga dawet sang istri berkata
“Lho kang, cepatlah
layani mereka “
Dan kenthus masih
terkekeh melihat warga yang beramai ramai mendatangi rumahnya. Hingga kethus
keluar dan menukar buntut tikus dengan uang yang sudah diberikan oleh ketua RT.
Selesai membayar penyetor kenthus duduk menghadap halaman rumah yang kosong.
Lalu bangkit mencari dawet dan merangkul dawet yang kemudia dawet beringas
ditolaknya kenthus ke elakang dan berkata.
“Jijik, jijik! Apa itu mimpu nunggang mcan? Kamu jadi
bau tikus. Tengik dan busuk! Aku benci, benci! “
Kenthus bengong. Dia
hanya melihat tanpa daya istrinya yang lari lalu membanting pintu dari laur.
Cerpen kesebelas
berjudul Wangon Jatilawang. Menceritakan tentang persahabatan tokoh aku dengan
si Sulam. Sulam diceritakan sebagai orang yang kurang waras atau biasa orang
sebut dengan wong gemblung. Awal mula pertemuan tokoh aku dengan Sulam yaitu
saat itu tokoh aku sedang mengadakan genduri dan tiba-tiba Sulam datang dengan
pakaian yang lusuh dan basah kuup akibat hujan. Tokoh aku pun lalu memberikan
baju yang layak untuk Sulam supaya dia berganti pakaiannya.
Setelah itu ia mengajak
Sulam untuk duduk disampingnya. Tampak tatapan tiak suka dari para tamu yang
hadir. Tokoh aku merasa para tamu tidak suka dengan kehadiran Sulam. Dan benar
saja, pada kenduri selanjutnya, hanya sedikit orang yang hadir. Sulam tinggal
di antara daerah Wangon dan Jatilawang. Ia setiap hari menempuh perjalanan
tujuh kilometer dan selalu singgah I rumah tokoh aku, hanya untuk sekedar makan
atau meminta uang.
Saat itu bulan puasa,
Sulam datang kerumah tokoh aku. Saat itu entah kenapa Sulam merasa malu-malu
saat hendak makan. “pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?” tanyanya tiba-tiba
dan itu membuat hatiku tertusuk. Tokoh aku bertanya siapa yang mengatainy
demikian, namu n Sulam tidak menjawab dan langsung pergi begitu saja.
Dekat hari lebaran,
pagi-pagi sekali Sulam sudah berada didepan rumah. Saat itu ia bertanya apakah
sudah hampir lebaran. Dan kujawab iya, memang kenapa. Sulam meminta dibelikan
baju olehku, katanya di pasar Wangon dan Jatilawang sudah banyak orang yang
membeli baju lebaran. Saat itu aku tidak langsung meng-iyakan permintaannya. Ku
katakana berkali-kali bahwa aku akan membelikanmu baju tetapi tidak sekarang,
nanti hanya akan kau kotori dengan lumpur.
Sulam tidak berkata
apa-apa dan langsung pergi begitu saja. Wajahnya murung. Tokoh aku mengikutinya
hingga depan halaman rumah. Dilihatnya hingga sulam menghilang ditelan kabut
pagi. Tokoh aku mulai menyesal, mengapa ia tidak langsung membelikannya
baju padahal tokoh aku sangat bisa
membelikannya. Saat itu jam tujuh pagi, tukang becak tiba dirumah tokoh aku dan
berkata “pak, Sulam mati tergilas truk dibatas kota Jatilawang.” Hari itu,
lengkap sudah segala penyesalan tokoh aku
Cerpen terakhir berjudul
Pengemis dan Shalawat Badar. Diceritakan bahwa tokoh aku sedang menunggangi
sebuah bus kota. Bus yang ditunggangi tokoh aku masuk terminal Cirebon ketika
matahari hampir mencapai pucak langit. Ketika bus berhenti, para pedagang
asongan naik menyerbu masuk. Bus menjadi pasar yang hiruk-pikuk. Suasana
sungguh gerah, sangat bising, dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan
tersebut.
Harapan para penumpang
hanya satu, sopir cepat datang dan meneruskan perjalanan ke Jakarta. Supaya
jiwa dan raga tidak tersiksa, tokoh aku mencoba berdamai dengan keadaan.
Tiba-tiba seorang laki-laki naik kedalam bus. Begitu naik laki-laki itu
mengucapkan salam. Kemudian dari mulutnya mengalir shalawat badar. Lelaki itu
mengemis, menggunakan shalawat badar.
Perhatian tokoh aku
terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Didengarnya
kedua awak bus itu bertengkar. Bus terus melaju ke arah Jakarta dengan omongan
kasar kondektur yang tiada hentinya. Lalu sang kondektur melihat pengemis yang
jongkok didekat pintu keluar, disuruhnya pengemis itu keluar. Dikatakannya
kepada kondektur, bagaimana ia bisa turun jika bus melaju cepat.
Kondektur pergi
meninggalkan si pengemis, dan si pengemis pun melanjutkan shalawatnya. Dalam
tidurnya, tokoh aku bermimpi jika ia melihat ribuan orang melantunkan shalawat
badar, anehnya mukanya semua sama dan persis seperti muka si pengemis. Lalu
tiba-tiba tokoh aku mendengar bunyi nyaring dan ia melihat banyak mayat
berjatuhan, ia takut dan hendak lari namun kakinya tersandung batu. Ia pun
terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya. Bus mengalami kecelakaan.
Dalam situasi itu, dilihatnya seorang lelaki yang munul dari bangkai bus,
berjalan dengan tenang sambil melantunkan shalawat
badar.
Kelebihan dan Hal Menarik dalam
Cerpen
Cerpen berjudul
"Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari ini mengandung beberapa nilai
kehidupan yang dapat menjadi pedoman hidup kita sehari-hari. Novel ini
menceritakan mengenai kehidupan Karyamin yang sangat tidak mudah karena
beban berat yang harus ia hadapi. Setiap hari, Karyamin rela bekerja sebagai
seorang kuli batu. Ia dan beberapa temannya harus memikul dua keranjang penuh
dan berat berisi batu dari sungai ke atasan mereka berulang-ulang kali.
Tantangan yang mereka alami tidaklah sedikit dan mudah untuk dilewati. Medan
yang mereka lewati adalah jalan tanjak berbatuan yang licin. Mereka juga harus
pintar dalam menjaga keseimbangan agar tidak jatuh tergelincir. Namun, tidak
seperti teman-temannya yang suka mengejek dan menertawakan orang lain, Karyamin
adalah seseorang yang sabar dan gigih berjuang dalam mencari nafkah demi
istrinya yang selalu didatangi penagih hutang.
Nilai-Nilai dalam
Cerpen
Dari cerpen “Senyum Karyamin” ini,
nilai kehidupan pertama yang dapat saya ambil adalah nilai kegigihan. Nilai ini
terlihat ketika Karyamin sangat gigih dalam bekerja keras mencari nafkah.
Nilai kehidupan
kedua yang dapat saya ambil adalah nilai tanggung jawab. Nilai ini terlihat
dari kehidupan Karyamin yang setiap harinya rela menanggung beban berat untuk
mencari nafkah dan makan bagi istrinya di rumah. Ia merasa bahwa ia harus
melindungi dan menjaga istrinya yang setiap hari didatangi oleh beberapa tukang
penjual kupon dan pemuda-pemuda penagih hutang. Disaat ia merasa bahwa ia tidak
mau pulang, Karyamin kemudian ingat bahwa istrinya sedang menunggu di rumah
sendirian.
Nilai kehidupan ketiga yang dapat saya ambil adalah nilai kesabaran.
Nilai ini sangat jelas terlihat dalam tanggapan Karyamin terhadap beberapa
temannya. Meskipun teman-temannya selalu menjadikan ia sebagai bahan tertawaan,
namun ia tidak menjadikan hal tersebut sebagai penghalang semangatnya. Ia tetap
diam dan bangkit untuk kembali melakukan pekerjaannya tanpa menghiraukan ejekan
teman-temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar