Selasa, 24 Desember 2019

Resensi Buku Kumpulan Cerpen "Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari


RESENSI SENYUM KARYAMIN


Judul: Senyum Karyamin
Karya: Ahmad Tohari
Tebal: 88 Halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

          Kisah ini dibuka melalui cerpen yang pertama yang berjudul Senyum Karyamin dengan latar cerita tentang lelaki pengangkat batu yang bernama Karyamin. Karyamin dan kawan kawannya harus mengangkat batu dari sungai ke pangkalan material. Para tengkulak yang senang mempermainkan harga tidak memikirkan nasib karyamin dan teman temannya yang menunggu para tengkulak itu untuk membayar batu batunya. Karyamin dan teman temannya itu senang mencari hiburan dengan menertawakan diri mereka sendiri. Itu adalah cara mereka untuk bertahan hidup.
          “Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan” (halaman 3).
          Karyamin mempunyai istri yang bernama Saidah. saidah seorang pedagang yang selalu sabar menanti uang hasil dari batu yang dikumpulkan Karyamin. Hidup mereka sangat bergantung pada tengkulak. Karyamin juga rela tidak makan demi istrinya. Kehidupan mereka seperti orang miskin yang bergantung ada orang lain. Yang membedakan hanyalah mereka bergantung pada tengkulak.
          Cerpen selanjutnya berjudul Jasa-Jasa Buat Sanwirya. Cerpen ini menceritakan tentang Sanwirya seorang penderes (penyadap nira kelapa) yang terjatuh ketika menyadap nira kelapa. Sanwirya memiliki 3 orang teman yang merasa kasihan padanya, mereka sibuk memikirkan jasa apa yang patut mereka berikan pada Sanwirya yang sedang tergeletak tak berdaya itu. Padahal, jasa apapun yang mereka berikan akan sia-sia karena Sanwirya telah sekarat mendekati ajalnya.
          “Syukur! Marilah. Ada banyak cara untuk merasa kasihan kepada penderes itu. Menyobek kaus yang sedang kupakai untuk membalut luka Sanwirya adalah sejenis rasa kasihan yang telah kulakukan. Oh, jangan tergesa-gesa, kita akan menentukan terlebih dahulu demi apa rasa kasihan itu kita adakan” (halaman 8).
          Tetapi sebenarnya dibutuhkan oleh Sanwirya bukanlah jasa-jasa kawannya, melainkan jasa modin karena Sanwirya telah hampir ajal dan takkan tertolong dengan jasa-jasa kawannya yang kesana kemari mencari makanan dan polis asuransi.
          Cerpen ketiga berjudul Si Minem Beranak Bayi. Cerpen ini menceritakan tentang lelaki bernama Kasdu yang sedang berjalan di perbukitan. Namun, selama ia berjalan, ia teringat akan Minem, istrinya yang masih berusia empat belas tahun yang baru saja melahirkan bayi perempuan. Dan ia juga teringat kesalahannya sendiri, yang menyebabkan Minem terbaring bersama bayi tak berdaya di sampingnya.Bayi itu anak dari mereka yang terlahir dengan usia belum genap tujuh bulan. Minem terlalu dini melahirkan dikarenakan Kasdu yang malas mengambil air ke seberang desa. Sehingga membuat Minem yang harus mengambilnya.
          “Bayi sebesar lengan itu terpaksa dari rahim Minem ketika Minem terjatuh selagi membawa tembikar penuh air. Kakinya tergelincir disebuah tanjakan dan Minem terguling-guling ke bawah. Tembikar yang dibawahnya pecah, airnya menyiram tanah yang sudah lama kerontang. Minem yang kelenger dipapah orang pulang ke rumah (halaman 13).”
          Kasdu sangat mengkhawatirkan bayinya yang sangat kecil dan istrinya yang lemah setelah melahirkan. Ia juga takut jika mertuanya akan memarahiny karena ia malas mengambil air ke seberang desa. Ternyata mertua laki-lakinya tidak menyangka jika Minem bisa melahirkan bayi dengan usia empat belas tahun. Sedangkan mertua perempuannya berusaha mengingatkan bahwa ia dulu melahirkan Minem dalam usia empat belas tahun pula.
          Cerpen keempat dengan judul Surabanglus bercerita tentang dua orang pemuda penebang kayu yaitu Kimin san Suing. Mereka sedang menghindar dari kejaran polisi kehutanan. Dengan keadaan lemas dan duduk bersandar disebuah tonggok. Letih dirasa oleh mereka karena harus lari terpontang-panting agar terselamatkan. Kini mereka merasa aman karena berhasil sembunyi didalam sebuah semak belukar puyengan.
          Mereka merasakan haus dan lapar, dan disitu terdapat sebatang pohon singkong yang tumbuh. Singkong tersebut belum empuk, karena merasa lapar Suing tetap ingin memakannya. Sudah di peringatkan untuk jangan memakannya tetap saja ia menghiraukannya. Suing mengeluarkan singkong tersebut dari kerapian. Ketika Suing hendak memakannya, tiba-tiba dari arah belakang Kimin menepis tangan Suing yang sedang menggenggam singkong. Karena pada saat itu juga Kimin sadar akan singkong tersebut adalah singkong surabanglus atau sejenis singkong beracun.
          Ketika Kimin sedang berusaha menjelaskan, raut wajah Suing berubah. Ia menjadi pucat pasi dan matanya tidak berkedip. Mulutnya setengah terbuka dengan bibir bergetar, nafasnya pendek-pendek, dan tubuhnya menggigil. Melihat keadaan Suing, Kimin merasakan cemas dan bingung. Dengan segera Kimin mencari apa saja yang bisa membuat Suing kembali seperti sedia kala. Ia keluar dari semak belukar dan tanpa sengaja menemukan sebatang pohon pisang. Dengan parang ditebasnya batang pisang itu, kulit batangnya yang basah dilepas dalam potongan kecil-kecil lalu dibawanya ke tempat suing tergeletak. Sepotong demi sepotong terus disuapkan ke mulut temannya. Kimin berhasil membuat Suing menjadi lebih tenang. Wajah topengnya berangsur hidup. Namun Suing terjengkang kembali, ketika dia berusaha duduk. Kedua tangannya masih gemetar. Akhirnya Kimin memutuskan untuk pergi mencari air dan makanan ke kampong terdekat. Sebelum berangkat Kimin berpesan supaya Suing tidak memakan singkong bakar itu.
          Cerpen kelima yang berjudul Tinggal Matanya Berkedip-Kecil diceritakan tokoh aku sebagai tokoh utama yang memiliki seorang ayah dan peliharaan kerbau yang bernama si Cepon. Si Cepon bertugas membajak sawah milik majikannya. Suatu ketika Cepon tidak seperti biasanya. Tiba-tiba si Cepon mogok kerja dan majikannya memanggil Musgepuk. Musgepuk ini adalah seorang pawang segala macam hewan ternak. Ia akan membantu agar Cepon kembali seperti sedia kala.
          Musgepuk merasa yakin dan sombong akan mengobati si Cepon. Ia meremehkan persoalan menjinakkan kerbau. Bahkan merasa sangat bangga dan percaya diri dapat menjinakkansi Cepon. Cara yang di lakukan tidak berhasil bahkan akhirnya si Cepon mati. Ketika di obati malah Cepon terluka dan berlumuran darah keluar dari bagian tubuhnya yang berujung kematian. Musgepuk tidak memiliki rasa belas kasih terhadap si Cepon.
          Cerpen keenam dengan judul Ah Jakarta ini bercerita diawal tentang tokoh aku yang kedatangan teman karibnya malam hari. Ia datang dengan jalan yang terpincang-pincang, lima jari kanannya yang luka. Aku menginginkan ia untuk bercerita tentang apa yang terjadi. Lalu ia mulai bercerita, sedan yang disewanya menabrak tiang listrik, dan hanya ia yang selamat. Luka di kakinya disebabkan tergores kaca belakang ketika ia berusaha lolos keluar.
          Ia meminta koran kemarin, lalu aku membacanya. Karibku itu ternyata seorang buronan. Ia juga menceritakan bagaimana kelompoknya memulai operasi dengan pengintaian yang bermula dari toko elektronik. Bila ada orang membeli TV warna atau video dia akan dibuntuti sampai rumahnya.
          Tengah malam ketika karibku itu sudah nyenyak dalam kamar yang disediakan, istriku bertanya banyak tentang dia. Istriku tidak terima kalau ada bangkai manusia yang pernah menginap dirumah kami.Pagi-pagi setelah subuh, aku tidak menemukan karibku di kamar. Aku menemukan bekas bungkus rokok dengan tulisan di dalamnya: “Terima kasih. Aku segera pergi supaya tidak merepotkan kamu.”
          Sejak saat itu aku senang pergi ke pasar. Aku selalu mengecek berita yang ada. Dalam seminggu sudah banyak mayat yang diperiksa. Apa yang ku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Karibku mengapung di kelokan kali Serayu di bawah jalan raya. Aku mengaku kalau itu adalah karibku. Polisi menanyakan identitasnya, lalu aku pun menyebutkan identitas seenak perutku.
          Polisi pergi dengan wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Lama aku berdiri bingung tak tahu harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan kawat casssanova.Bila bukan karena tempurung yang tergeletak mungkin aku masih diam. Aku mulai memandikannya. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur ke utara. Mayat itu kutarik dan kumasukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut. Kusembahyangkan kemudian kumiringkan ke barat. Daun-daun jati kututupkan, lalu pasir kutimbunkan. Sebuah batu sebesar kepala aku buat sebagai nisan. Setelah itu aku tinggalkan tepian kali Serayu. Ah, Jakarta.
          Cerpen ketujuh berjudul Blokeng bercerita tentang seorang wanita bernama Blokeng yang memiliki keterbelakangan mental. Blokeng hamil diluar nikah. Membuat warga geger akan kelakuannya. Entah siapa yang menghamili nya. Semua warga resah dan kaget serta berusaha mencari pelakunya. Ketika ditanya oleh hansip atau siapapun kepada Blokeng,ia hanya menjawab dengan kata “mbuh".
          Sampai saat melahirkan pun belum diketahui siapa ayahnya. Namun ketika pak Lurah dari kampung Blokeng berniat untuk mengasuh anaknya dan menganggap dirinya menjadi ayahnya. Blokeng menikah dan menunjukkan ciri lelaki yang menghamilinya itu tidak botak. Kemudia mendengar penuturan Blokeng seluruh lelaki di desanya mencukur rambutnya hingga botak. Petunjuk lain yang diberikan yaitu lelaki yang memperkosanya membawa senter di malam hari dan para warga lelakipun tidak membawa senter lagi melainkan api yang ditaruh di dalam kayu (obor). Petunjuk lain yang diberikan adalah yang melakukan menggunakan sandal jepit, dan lagi-lagi seluruh lelaki di desanya tidak ada yang menggunakan sandal jepit.
          Cerpen ke delapan berjudul Sukuran Sutabawor. Menceritakan bahwa Sutabawor mengadakan sykuran dengan menyembelih tiga ekor ayam yang tidak terlalu besar. Sutabawor mengadakan syukuran tersebut karena beban berat dalam hidupnya kini telah terangkat. Dikatakan oleh sumber berita terpercaya bahwa Sutabawor memiliki pohon jengkol yang tumbuh besar di pekarangan rumahnya.
          Setiap pohon itu berbunga pasti banyak serangga yang hinggap di bunga itu. Menurut ilmu para petani jika bunga dihinggapi banyak serangga, maka bunga tersebut dapat berbuah. Namun tidak bagi pohon jengkol Sutabawor. Ia lelah menunggu pohon tersebut berbuah, lalu ia mengundang mertuanya supaya pohon tersebut dibacakan mantra. Dan benar, pohon Sutabawor berbuah lebat. Ia teramat senang sehingga mengadakan syukuran tersebut.
          Banyak penduduk yang bertanya bagaimana pohon tersebut dapat berbuah. Ia menceritakan bahwa mertuanya membacakan mantra yang berbunyi jika pohon tersebut tidak mau berbuah maka akan ditebang pohon itu dan dijadikan tutup lahat makam priyayi jaman akhir. Priyayi jaman akhir yaitu orang-orang zaman penjajahan belanda yang mengapdi untuk penjajah, bukan untuk kawula. Mereka bersikap ningrat, maunya di layani dan tidak mau bergaul dengan orang biasa. Pokoknya priyayi atau orang jaman dulu itu menurut pohon jengkol demikian tak berharga karena miskin akan nilai kemanusiaan yang sejati.
          Cerpen ke Sembilan berjudul Rumah Yang Terang. Menceritakan tentang listrik yang sudah masuk di kampong tokoh yang disebut sebagai aku. Sudah banyak manfaat yang diberikan oleh listrik. Sebuah tiang lampu tertancap di rumah aku. Bersama dengan teman-teman tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah-rumah terdekat. Namun, sampai sekian lama rumahnya masih tetap gelap. Ayahnya tidak mau memasang listrik sehingga banyak tetangga yang mulai berasumsi negative tentang ayahnya.
          Ia yang bekerja sebagai propagandis pemakaian kondom dan spiral bisa saja membayar listrik. Tetapi tidak ia lakukan demi ayahnya. Ia sering membujuk mengapa ayahnya tidak mau menggunakan listrik. Pernah ia katakan “apabila ayah enggan mengeluarkan uang, maka akulah yang akan membayarnya”. Tasbih di tangan ayahya berhenti berdecik, ayahnya tersinggung. “jadi kamu seperti semua orang yang mengatakan ayah bakhil dan memelihara tuyul?” dan ia pun menyesal.
          Ketika ayahnya sakit, beliau tidak mau dirawat dirumah sakit. Ia bertanya apakah alasannya karena takut akan sinar listrik yang berada dirumah sakit. Ia mengatakan akan meminta kamar ayahnya diterangi oleh lilin saja jika begitu. Tanggapan ayahnya adalah rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah memucat. Lagi-lagi ia menyesal. “sudahlah nak, kamu lihat sendiri aku hampir mati, sepeninggalku nanti kamu bisa memasang listrik dirumah ini.” Dan itu adalah ucapan terakhir ayahnya untuk tokoh aku.
          Seratus hari setelah kematian ayahnya orang-orang yang bertahlil dirumahnya sudah duduk dibawah lampu neon 20 watt. “Nah, lebih enak dengan listrik, ya mas?”. “Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan istrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiska semasa hidup maka beliau khawatir tidak akan ada cahaya baginya di alam kubur.” Semua tamu malah menunduk dan ia pun ikut menunduk.
          Cerpen ke sepuluh berjudul Kethus. Menceritakan tentang seseorang yang belagak sombong, orang tersebut bernama Kethus. Karena kethus bermimpimpi Nunggang Macan yang berarti akan menjadi penguasa.  Kethus yang semula lugu mendadak besar kepala karena mendapat amanat dari ketua RT untuk mencari buntut tikus yang satu buntut tikusnya dihargai Rp100.
          Dawet sang istri merasa mual dan ingin muntah ketika sang suami bergaya seperti orang kaya dan berbicara ngawur. Dawet pun merasa sang suami berperilaku aneh dan menudh bahwa uang yang diberi oleh kethus kepada dawet adalam uang hasil curian atau maling. Dan kethus pun berbicara kepada dawet
          “Sepanjang mengenal si Kethus, pernahkan kamu mendengar si Kethus jadi maling? “
          Akhirnya dawet pun bertahan dan mengerti uang yang diberi suaminya berasal dari kas desa. Dengan uang itu warga dirangsang dan digelitik agar mau menghimpun buntut tikus sebanyak mungkin. Dan ketika kenthus berkata
          Para petani sudah terkena wabah penyakit masa bodo sehingga segalanya perlu dirangsang rangsang “
          Ketika para warga sudah bermunculan dirumah kethus membawa buntut tikus. Kethus berlagak tak acuh. Dia sibuk menata meja dan kursi buat dirinya sendiri. Lalu duduk penuh gaya, ditangannya ada pensil dan ketas kumal. Dalam hati, kethus berdoa kiranya dia tidak lupa bagaimana membuat tulisan ceker ayam. Banyak yang berkata
          “He, thus. Aku dapat lima puluh buntut. Sini, bayar lima ratus “ kata khorim sambil maju
          “Aku dapat empat puluh tiga “
          “Aku dua puluh enam “
         Kenthus tetap duduk lalu masuk kerumah dengan santai. Hingga dawet sang istri berkata
          “Lho kang, cepatlah layani mereka “
          Dan kenthus masih terkekeh melihat warga yang beramai ramai mendatangi rumahnya. Hingga kethus keluar dan menukar buntut tikus dengan uang yang sudah diberikan oleh ketua RT. Selesai membayar penyetor kenthus duduk menghadap halaman rumah yang kosong. Lalu bangkit mencari dawet dan merangkul dawet yang kemudia dawet beringas ditolaknya kenthus ke elakang dan berkata.
          Jijik, jijik! Apa itu mimpu nunggang mcan? Kamu jadi bau tikus. Tengik dan busuk! Aku benci, benci! “
          Kenthus bengong. Dia hanya melihat tanpa daya istrinya yang lari lalu membanting pintu dari laur.
          Cerpen kesebelas berjudul Wangon Jatilawang. Menceritakan tentang persahabatan tokoh aku dengan si Sulam. Sulam diceritakan sebagai orang yang kurang waras atau biasa orang sebut dengan wong gemblung. Awal mula pertemuan tokoh aku dengan Sulam yaitu saat itu tokoh aku sedang mengadakan genduri dan tiba-tiba Sulam datang dengan pakaian yang lusuh dan basah kuup akibat hujan. Tokoh aku pun lalu memberikan baju yang layak untuk Sulam supaya dia berganti pakaiannya.
          Setelah itu ia mengajak Sulam untuk duduk disampingnya. Tampak tatapan tiak suka dari para tamu yang hadir. Tokoh aku merasa para tamu tidak suka dengan kehadiran Sulam. Dan benar saja, pada kenduri selanjutnya, hanya sedikit orang yang hadir. Sulam tinggal di antara daerah Wangon dan Jatilawang. Ia setiap hari menempuh perjalanan tujuh kilometer dan selalu singgah I rumah tokoh aku, hanya untuk sekedar makan atau meminta uang.
          Saat itu bulan puasa, Sulam datang kerumah tokoh aku. Saat itu entah kenapa Sulam merasa malu-malu saat hendak makan. “pak, wong gemblung boleh tidak puasa kan?” tanyanya tiba-tiba dan itu membuat hatiku tertusuk. Tokoh aku bertanya siapa yang mengatainy demikian, namu n Sulam tidak menjawab dan langsung pergi begitu saja.
          Dekat hari lebaran, pagi-pagi sekali Sulam sudah berada didepan rumah. Saat itu ia bertanya apakah sudah hampir lebaran. Dan kujawab iya, memang kenapa. Sulam meminta dibelikan baju olehku, katanya di pasar Wangon dan Jatilawang sudah banyak orang yang membeli baju lebaran. Saat itu aku tidak langsung meng-iyakan permintaannya. Ku katakana berkali-kali bahwa aku akan membelikanmu baju tetapi tidak sekarang, nanti hanya akan kau kotori dengan lumpur.
          Sulam tidak berkata apa-apa dan langsung pergi begitu saja. Wajahnya murung. Tokoh aku mengikutinya hingga depan halaman rumah. Dilihatnya hingga sulam menghilang ditelan kabut pagi. Tokoh aku mulai menyesal, mengapa ia tidak langsung membelikannya baju  padahal tokoh aku sangat bisa membelikannya. Saat itu jam tujuh pagi, tukang becak tiba dirumah tokoh aku dan berkata “pak, Sulam mati tergilas truk dibatas kota Jatilawang.” Hari itu, lengkap sudah segala penyesalan tokoh aku
          Cerpen terakhir berjudul Pengemis dan Shalawat Badar. Diceritakan bahwa tokoh aku sedang menunggangi sebuah bus kota. Bus yang ditunggangi tokoh aku masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucak langit. Ketika bus berhenti, para pedagang asongan naik menyerbu masuk. Bus menjadi pasar yang hiruk-pikuk. Suasana sungguh gerah, sangat bising, dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan tersebut.
          Harapan para penumpang hanya satu, sopir cepat datang dan meneruskan perjalanan ke Jakarta. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, tokoh aku mencoba berdamai dengan keadaan. Tiba-tiba seorang laki-laki naik kedalam bus. Begitu naik laki-laki itu mengucapkan salam. Kemudian dari mulutnya mengalir shalawat badar. Lelaki itu mengemis, menggunakan shalawat badar.
          Perhatian tokoh aku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Didengarnya kedua awak bus itu bertengkar. Bus terus melaju ke arah Jakarta dengan omongan kasar kondektur yang tiada hentinya. Lalu sang kondektur melihat pengemis yang jongkok didekat pintu keluar, disuruhnya pengemis itu keluar. Dikatakannya kepada kondektur, bagaimana ia bisa turun jika bus melaju cepat.
          Kondektur pergi meninggalkan si pengemis, dan si pengemis pun melanjutkan shalawatnya. Dalam tidurnya, tokoh aku bermimpi jika ia melihat ribuan orang melantunkan shalawat badar, anehnya mukanya semua sama dan persis seperti muka si pengemis. Lalu tiba-tiba tokoh aku mendengar bunyi nyaring dan ia melihat banyak mayat berjatuhan, ia takut dan hendak lari namun kakinya tersandung batu. Ia pun terjatuh dengan darah yang keluar dari mulutnya. Bus mengalami kecelakaan. Dalam situasi itu, dilihatnya seorang lelaki yang munul dari bangkai bus, berjalan dengan tenang sambil melantunkan shalawat badar.

Kelebihan dan Hal Menarik dalam Cerpen
          Cerpen berjudul "Senyum Karyamin" karya Ahmad Tohari ini mengandung beberapa nilai kehidupan yang dapat menjadi pedoman hidup kita sehari-hari. Novel ini menceritakan mengenai kehidupan Karyamin yang sangat tidak mudah karena beban berat yang harus ia hadapi. Setiap hari, Karyamin rela bekerja sebagai seorang kuli batu. Ia dan beberapa temannya harus memikul dua keranjang penuh dan berat berisi batu dari sungai ke atasan mereka berulang-ulang kali. Tantangan yang mereka alami tidaklah sedikit dan mudah untuk dilewati. Medan yang mereka lewati adalah jalan tanjak berbatuan yang licin. Mereka juga harus pintar dalam menjaga keseimbangan agar tidak jatuh tergelincir. Namun, tidak seperti teman-temannya yang suka mengejek dan menertawakan orang lain, Karyamin adalah seseorang yang sabar dan gigih berjuang dalam mencari nafkah demi istrinya yang selalu didatangi penagih hutang. 

Nilai-Nilai dalam Cerpen
          Dari cerpen “Senyum Karyamin” ini, nilai kehidupan pertama yang dapat saya ambil adalah nilai kegigihan. Nilai ini terlihat ketika Karyamin sangat gigih dalam bekerja keras mencari nafkah.
          Nilai kehidupan kedua yang dapat saya ambil adalah nilai tanggung jawab. Nilai ini terlihat dari kehidupan Karyamin yang setiap harinya rela menanggung beban berat untuk mencari nafkah dan makan bagi istrinya di rumah. Ia merasa bahwa ia harus melindungi dan menjaga istrinya yang setiap hari didatangi oleh beberapa tukang penjual kupon dan pemuda-pemuda penagih hutang. Disaat ia merasa bahwa ia tidak mau pulang, Karyamin kemudian ingat bahwa istrinya sedang menunggu di rumah sendirian.
          Nilai kehidupan ketiga yang dapat saya ambil adalah nilai kesabaran. Nilai ini sangat jelas terlihat dalam tanggapan Karyamin terhadap beberapa temannya. Meskipun teman-temannya selalu menjadikan ia sebagai bahan tertawaan, namun ia tidak menjadikan hal tersebut sebagai penghalang semangatnya. Ia tetap diam dan bangkit untuk kembali melakukan pekerjaannya tanpa menghiraukan ejekan teman-temannya.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar