Resensi Naskah Drama
”Matahari di Sebuah Jalan Kecil”
Karya: Arifin C. Noor
Sebentar lagi berkas-berkas di langit
akan buyar dan matahari akan memulai memancarkan sinarnya yang putih, terang
dan panas. Jalan itupun akan mulai hidup, bernafas dan debu-debu akan segera
berterbangan mengotori udara.
Jalan itu bukan jalan kelas satu. Jalan
itu jalan kecil yang hanya dilalui kendaraan-kendaraan dalam jumlah kecil.
Tetapi sebuah pabrik es yang tidak kecil berdiri di pinggirnya dan pabrik itu
memiliki gedung yang sangat tua. Di depan gedung itulah para pekerja pabrik
mengerumuni SIMBOK yang berjualan pecel di halaman.
Seorang laki-laki yang sejak malam
terbaring, tidur di ambang pintu yang terpalang tak dipakai itu, bangun dan
menguap setelah seorang yang bertubuh pendek membangunkannya. Laki-laki
itu adalah PENJAGA MALAM.
1.
PENJAGA
MALAM : Uuuuuh, gara-gara
pencuri, aku jadi kesiangan.
2.
SI
PENDEK
: Tadi malam ada pencuri?
3.
PENJAGA
MALAM : Di sana, di ujung jalan
itu! (menunjuk)
4.
SI
PENDEK
: Tertangkap?
5.
PENJAGA
MALAM : Dia licik seperti
belut. (menggeliat lalu pergi)
6.
SI
PENDEK
: (duduk lalu membaca koran)
Seorang pemuda (anak laki-laki) membawa
baki di atas kepalanya lewat. Ia menjajakan kue donat dan onde-onde. Suaranya
nyaring sekali. Tak ada orang mengacuhkannya. Begitu ia lenyap seorang pemuda
lewat pula yang berjalan dengan perlahan, berbaju lurik kumal, sepatu kain yang
sudah rusak dan buruk, wajahnya pucat. Sebentar ia memperhatikan orang-orang
yang tengah makan lalu ia pergi dan iapun tak diperhatikan orang.
Gemuruh mesin yang tak pernah berhenti
itu, yang abadi itu, makin lama makin mengendur daya bunyinya sebab lalu lintas
di jalan itu mulai bergerak dan orang-orang semakin banyak di halaman pabrik
itu. SIMBOKpun makin sibuk melayani mereka. Lihatlah!
7.
SI
TUA :
(menerima pecel) Sedikit sekali.
8.
SIMBOK :
(tak menghiraukan dan terus melayani yang lain)
9.
SI
PECI :
Ya, sedikit sekali (menyuapi mulutnya)
10.
SI
TUA
: Tempe lima rupiah sekarang.
11.
SI KACAMATA : Beras mahal (membuang cekodongnya) kemarin
istriku mengeluh.
12.
SI
PECI
: Semua perempuan ya ngeluh.
13.
SI
KURUS : Semua
orang pengeluh.
14.
SI KACAMATA :
Kemarin sore istriku berbelanja ke warung nyonya pungut. Pulang-pulang ia
menghempaskan nafasnya yang kesal……. Harga beras naik lagi, katanya.
15.
SI
PECI
: Apa yang tidak naik?
16.
SI
TUA
: Semua naik.
17.
SI
KURUS : Gaji
kita tidak naik.
18.
SI KACAMATA :
Anak saya yang tertua tidak naik kelas.
19.
SI
TUA
: Uang seperti tidak ada harganya sekarang.
20.
SI
KURUS : Tidak
seperti…. Ah memang tak ada harganya.
21.
SI
TUA
: (mengangguk-angguk)
22.
SI
PECI
: Ya.
23.
SI KACAMATA : Ya.
24.
SI
PENDEK : Menurut saya (menurunkan
koran yang sejak tadi menutupi wajahnya. Sebentar ia berfikir sementara
kawannya bersiap mendengar cakapnya). Menurut saya, sangat tidak baik kalau
kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting pada
waktu ini sedang gawat menantang kita. Dalam seruan serikat kerja kitapun telah
dinyatakan demi menghadapi revolusi dan soal-soal lainnya yang menyangkut
negara kita harus turut aktif dan bersiap siaga untuk segala apa saja dan yang
terpenting tentu saja perhatian kita.
25.
SI
TUA
: (menggaruk-garuk)
26.
SI
PENDEK : Ya, baru saja saya baca dari
koran….nich, korannya…. Bahwa kita harus waspada terhadap anasir-anasir
penjajah, kolonialisme. Kita harus hati-hati dengan mulut yang manis dan licin
itu. (tiba-tiba batuk dan keselek)…..tempe mahal tidak enak rasanya…
(meneruskan yang semula) beras yang mahal hanya soal yang tidak lama.
27.
SI
PECI
: Ya.
28.
SI KACAMATA : Ya.
29.
SI PENDEK : Ya.
30.
SI TUA : Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya
membutuhkan uang sepeser untuk sebungkus nasi.
31.
SI
PECI
: Dulu?
32.
SI
TUA
: Ketika jaman normal.
33.
SI KURUS : Jaman
Belanda.
34.
SI
TUA : Ya,
jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya membutuhkan uang sehelai rupiah.
35.
SI
KURUS : Tapi untuk apa
kita melamun, untuk apa kita mengungkap-ungkap yang dulu?
36.
SI
PENDEK : (makin berselera) Ya, untuk
apa? Untuk apa kita melamun? Untuk apa kita mengkhayal? Apakah dulu bangsa kita
ada yang mengendarai mobil? Sepedapun hanya satu dua orang saja yang
memilikinya. Kalaupun dulu ada itulah mereka para bangsawan, para priyayi dan
para amtenar yang hanya mementingkan perut sendiri saja. Sekarang
lihatlah ke jalan raya.
37.
SI
PENDEK : …… Lihatlah Kemdal Permai,
stanplat. Pemuda-pemuda kita berkeliaran dengan sepeda motor. Kau punya sepeda?
Ya, kita bisa mendengarkan lagu-lagu dangdut dari radio. Ya?
38.
SI KACAMATA : Ya.
39.
SI PENDEK : Ya,
tidak?
40.
SI
KURUS :
Ya.
41.
SI
PENDEK :
Ya, tidak?
42.
SI
TUA
: (mengangguk-angguk)
43.
SI
PENDEK : Sebab itu kita tidak perlu mengeluh,
apalagi melamun dan mengkhayal, sekarang yang penting kita bekerja, bekerja
yang keras.
44.
SI KACAMATA :
Saya juga berpikir begitu.
45.
SI
PENDEK :
Kita bekerja dan bekerja keras untuk anak-anak kita kelak.
46.
SI KACAMATA :
Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.
47.
SI
PENDEK :
Asal giat bekerja kita bebas berharap apa saja.
48.
SI
KURUS : Tapi kalau masih ada korupsi? Anak kita
akan tetap hanya kebagian debu-debunya saja dari motor yang lewat di jalan
raya.
49.
SI
PECI
: Ya.
50.
SI KACAMATA : Ya.
51.
SI
TUA
: Ya, sekarang kejahatan merajalela.
52.
SI
KURUS :
Semua orang bagai diajar mencuri dan menipu.
53.
SI KACAMATA : semua orang.
54.
SI
KURUS :
Uang serikat kerja kitapun pernah ada yang menggerogoti (melirik kepada si
pendek)
55.
SI
PECI
: Ya, setahun yang lalu. (melirik si
pendek)
56.
SI KACAMATA : Ya, dan sampai sekarang belum tertangkap
tuyulnya. (melirik pad si pendek)
57.
SI
TUA
: (mengangguk-angguk)
PEMUDA muncul lagi, mula-mula ragu lalu
ia turut bergerombol dan makan pecel.
58.
SI
PECI
: Ya,
setahun yang lalu (melirik si pendek) Sekarang kita sukar mempercayai orang.
59.
SI
KURUS : Bahkan kita takkan percaya lagi pada
kucing. Kucing sekarang takut pad tikus dan tikus sekarang besar-besar, malah
ada yang lebih besar daripada kucing, dan adapula tikus yang panjangnya satu
setengah meter dan empat puluh kilogram beratnya. Tapi yang lebih pahit kalau
kucing jadi tikus alias kucing sendiri sama kurang ajarnya dengan tikus.
60.
SI
PECI
: Ya, sekarang kucing malas-malas dan
kurang ajar.
61.
SI KACAMATA : Dunia penuh tikus sekarang.
62.
SI
KURUS : Dan
tikus-tikus jaman sekarang berani berkeliaran di depan mata pada siang hari
bolong.
63.
SI
TUA
: Omong-omong
perkara tikus, (batuk-batuk) sekarang ada juga orang yang makan tikus.
64.
SI KACAMATA :
Bukan tikus, cindel. Orang Tionghoa di tempat saya biasa menelan cindel
hidup-hidup dengan kecap, mungkin untuk obat.
65.
SI
TUA
: Bukan
cindel, tikus-tikus, Wirog. Petani-petani sudah sangat jengkel karena diganggu
sawahnya, sehingga mereka dengan geram dan jengkel lalu memakan tikus-tikus
sebagai lauk, daripada mubazir. Tapi ada juga yang memakan tikus itu
sebab……….lapar.
66.
SI
PECI
: Ya,
sekarang sudah hampir umum di kampung-kampung, bahkan ada juga anjuran dari pemerintah
setempat.
67.
SI
KURUS :
(pada si tua) Enak?
68.
SI
TUA
:Ha?
69.
SI
KURUS :
Sedap?
70.
SI
TUA
: Saya tidak turut makan (tersenyum).
Semua tertawa. Lonceng bekerja
berdentang. Mereka masing-masing menghitung dan menyerahkan uang pada SIMBOK
kemudian pergi bekerja, lewat jalan samping. Yang
terakhir adalah si pendek.
71.
SI PENDEK : Berapa Mbok?
72.
SIMBOK
: Apa?
73.
SI
PENDEK : Nasi pecel dua, tempe satu,
tahu satu, rempeyek satu.
74.
SIMBOK
: Tujuh puluh lima.
75.
SI PENDEK : Bon. (pergi)
Pemuda menghabiskan makannya dengan
lahap sekali, setelah membuang cekodongnya ia minta air yang biasa disediakan
oleh penjual pecel itu. Ia berdiri, merogoh saku celana. Ia
cemas, saku baju dirogohnya. Ia makin cemas, Simbok memperhatikan
dengan biasa.
76.
SIMBOK
: Ada yang hilang?
77.
PEMUDA :
Barangkali tidak.
78.
SIMBOK
: Apa?
79.
PEMUDA :
Dompet.
80.
SIMBOK
: Dompet? Ada uang di dalamnya?
81.
PEMUDA
: Juga surat keterangan penduduk. Tapi (mengingat-ingat) barangkali saya lupa
dan tidak hilang. Tadi malam saya mengenakan baju hijau dengan celana lurik
hijau. Yang mungkin dompet itu dalam saku baju hijau….. Berapa Mbok?
82.
SIMBOK
: Nasi dua.
83.
PEMUDA :
Tempe dua, tahu tiga.
84.
SIMBOK
: Delapan puluh.
85.
PEMUDA :
(seraya hendak pergi) Sebentar saya pulang mengambil uang. Dompet saya dalam
saku baju hijau barangkali.
86.
SIMBOK
: Nanti dulu.
87.
PEMUDA
: Tak akan lebih dari sepuluh menit. Segera saya kembali.
88.
SIMBOK
: Tapi sebentar lagi saya mau pergi dari sini.
89.
PEMUDA
: Tapi dompetku ketinggalan di rumah. Sebentar rumahku tidak jauh dari sini.
90.
SIMBOK
: Ya, tapi sebentar lagi saya akan pergi dari sini.
91.
PEMUDA
: Sebentar (akan pergi)
92.
SIMBOK :
(berdiri dan berseru) Hei, nanti dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.
93.
PEMUDA
: Jangan berteriak. Tentu saja saya akan membayar. Tapi saya mesti mengambil
uang dulu di rumah. Mbok tidak percaya?
94.
SIMBOK : (diam)
95.
PEMUDA
: Tunggulah sebentar, saya orang kampung sini juga.
TERDENGAR ADA SUARA: Ada apa Mbok?
96.
SI KURUS : Ada apa Mbok? (di jendela)
97.
SIMBOK : Dia belum
bayar.
98.
PEMUDA : Tunggulah lima menit (pergi).
99.
SI KURUS : Hai, dik!
Tunggu!
100.PEMUDA : Saya akan mengambil uang. Saya belum
membayar makanan saya, sebab itu saya akan pulang mengambil uang saya. Dompet saya
ketinggalan.
101.SI KURUS :Ya, tapi jangan main
minggat-minggatan.
102.PEMUDA : Saya tidak berniat lari atau
minggat, lagipula saya sudah bilang sama si Mbok.
103.SI KURUS : Simbok mengijinkan?
104.PEMUDA : Saya Cuma sebentar.
105.SI KURUS : Simbok memperbolehkan engkau
pergi?
106.PEMUDA : (diam)
107.SI KURUS : Simbok keberatan engkau
meninggalkan tempat ini sebelum engkau membayar makananmu.
108.PEMUDA : Bagaimana dapat saya bayar? Dompet saya
ketinggalan.
109.SI KURUS : Ya, tapi jangan main
minggat-minggatan.
110.PEMUDA : Saya tidak berniat minggat atau
lari.
111.SI KURUS : (lenyap dari jendela, muncul dari
pintu samping) Dimana rumahmu?
112.PEMUDA : Dekat.
113.SI KURUS : Dekat di mana?
114.PEMUDA : Di kampung ini.
115.SI KURUS : Ha? (pada Simbok) Mbok, kenal
pada anak itu?
116.SIMBOK : Seumur hidup baru pagi ini saya
menjumpainya. Tapi peristiwa semacam ini kerap kualami. Dulu saya percaya ada
orang yang betul-betul ketinggalan uangnya tetapi orang-orang sebangsa itu
tidak pernah kembali. Seminggu yang lalu saya tertipu dua puluh rupiah.
Tampangnya gagah dan meyakinkan sekali, waktu itu ia bilang uangnya tertinggal
di rumah. Tapi sampai hari ini pecel yang dimakannya belum dibayar. Benar dua
puluh itu tidak banyak, tetapi dua puluh kali sepuluh adalah tidak sedikit. Sekarang
saya sudah kapok dan cukup pengalaman.
117.SI KURUS : Baru sekarang ini kau jajan pada
simbok, bukan?
118.PEMUDA : Ya.
119.SI KURUS : Lalu kenapa kau berani-berani
jajan padahal kamu tahu tak beruang.
120.PEMUDA : Saya beruang.
121.SI KURUS : Bayarlah sekarang.
122.PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
123.SI KURUS : Kenapa kau berani jajan.
124.PEMUDA : Saya tidak tahu kalau uang
saya ketinggalan di saku baju hijau. Dan sekarang saya akan pergi
mengambil uang itu.
MUNCUL DI JENDELA, SI PECI
125.SI PECI : Ada apa dia?
126.SI KURUS : Makan tidak bayar.
127.SI PECI : Siapa?
128.SI KURUS : Pemuda ini.
129.SI PECI : Dia? (lenyap dari jendela
muncul dari pintu)
130.SI KURUS : Kau bayarlah sebelum
orang-orang ramai datang ke sini.
131.SI PECI : Ya, bayarlah. (pada
simbok) Berapa dia habis?
132.SI KURUS : Berapa Mbok?
133.SIMBOK : Delapan puluh.
DUA ORANG ANAK MASUK, MEREKA MENONTON
134.SI KURUS : Kenapa jadi diam?
135.SI PECI : Kenapa?
136.PEMUDA : Saya tidak berniat minggat.
137.SI KURUS : Masih muda sudah belajar tidak
jujur. Masih muda sudah belajar makan tanpa jerih payah.
138.SI PECI : Kenapa tidak membayar?
139.PEMUDA : Saya mau membayar, uang saya
ketinggalan.
140.SI PECI : Ketinggalan di mana?
141.SI KURUS : Di bank?
142.PEMUDA : Di rumah.
143.SI KURUS : Di mana rumahmu?
144.PEMUDA : Di sini.
145.SI KURUS : Di sini di mana?
146.PEMUDA : Di kampung ini.
147.SI KURUS : Kau warga kampung ini?
148.PEMUDA : Saya orang baru.
149.SI KURUS : Kau tahu nama kampung ini?
150.PEMUDA : Pegulen.
151.SI KURUS : Pegulen? Di RT mana kau tinggal?
152.PEMUDA : Di RT lima.
153.SI KURUS : RT lima betul?
154.PEMUDA : Kalau tidak keliru.
155.SI KURUS : Kalau tidak keliru?
156. PEMUDA : Mungkin saya lupa, saya orang
baru.
157.SI KURUS : Baik. Siapa kepala RT lima?
158.PEMUDA : Saya orang baru di kampung ini.
159.SI KURUS : Tentu saja kau harus mengatakan
orang baru di kampung ini, sebab kalau kau mengatakan orang lama di kampung
sini tentu kau harus menjawab siapa nama kepala RT lima. Baik, dari
mana asalmu?
160.PEMUDA : Muntilan.
161.SI KURUS : Dekat. Nah, kau katakan di mana
tempat tinggalmu?
162. PEMUDA : RT lima Pegulen.
163.SI KURUS : RT lima dimana?
164.PEMUDA : Di RT lima.
165.SI KURUS : Ya, di rumah siapa?
166.PEMUDA : Dekat bengkel Slamet.
167.SI KURUS : Bengkel Slamet, bengkel mobil
itu?
168.PEMUDA : Bengkel sepeda.
169.SI KURUS : O.., Ya betul, bengkel sepeda. Di mana
bengkelnya?
170.PEMUDA : Di dekatnya.
171.SI KURUS : Di atasnya?
172.PEMUDA : Di sebelahnya.
173.SI KURUS : Ya, di sebelah atas.
174.PEMUDA : Sebelah kiri.
175.SI KURUS : O…, rumah siapa itu?
176.PEMUDA : Rumah tukang sepatu.
177.SI KURUS : Hapal sekali. Tukang sepatu
siapa namanya?
178.PEMUDA : E….. Mas Narko, Sunarko.
179.SI KURUS : Salah, ternyata kau bohong. Nah,
sejak sekarang saya akan memanggilmu pembohong. Rumah itu adalah rumah saya. Di
muka rumah itupun berdiri rumah Simbok ini. Kau bohong.
180.PEMUDA : Saya tidak bohong. Bukankah
diantara rumah saudara dan bengkel ada sebuah rumah petak yang agak bagus.
181.SI KURUS : Kau cerdas sekali, tapi tolol. Rumah itupun
rumah pak Prawiro, bukan rumah mas Sunarko.
182.PEMUDA : Barangkali namanya Sunarko
Prawiro.
183.SI KURUS : Indah sekali namanya. Kau yakin
benar nama itu?
184.PEMUDA : Saya tidak begitu kenal namanya.
185.SI KURUS : Tentu saja pak Prawiro itu sangat
tidak kenal padamu.
186.PEMUDA : Tapi saya kenal orangnya dan
saya mondok pada istrinya.
187.SI KURUS : Setiap orang yang punya sepatu
yang rusak dan buruk seperti sepatumu pasti kenal padanya. Dia tukang
sepatu.
188.PEMUDA : Tapi saya betul-betul kenal.
189.SI KURUS : Betul?
190.PEMUDA : Betul.
191.SI KURUS : Betul?
192.PEMUDA : (diam)
193.SI KURUS : Puh! Pembohong. Tampangmu saja
sudah mirip bajingan. Pintar kau ngoceh ya? Saya adalah orang yang paling benci
pada ketidakjujuran, saya muak. Saya menyesal sekali melihat penipu semuda kau.
Tapi saya terlanjur muak. Saya benci, kau tahu? Gaji saya sedikit, tapi saya
tak mau menipu atau mencuri. Ya, tentu saja kau semakin kurus, sebab benar kata
Joyoboyo, yang pintar keblinger yang jujur mujur. Sekarang baiklah, bayar atau
tidak? Ya memang sedikit uang delapan puluh rupiah, tapi bagi saya kejahatan
tetap kejahatan, dan saya benci serta menyesal, yang melakukan perbuatan hina
itu adalah manusia bukan anjing. Dan lebih menyesal lagi kalau yang melakukan
kerja nista itu adalah bakal dan calon orang, yaitu kamu, PEMUDA. Nah, bayar
atau tidak? Terus terang.
194.PEMUDA : Saya mau bayar.
195.SI KURUS : Bayarlah!
196.PEMUDA : Uang saya ketinggalan.
197.SI KURUS : Ketinggalan di mana? Di Bank? Di
kantong pak Prawiro atau mau mencopet dahulu? Mau belajar jadi garong… biar…
cair kepalamu? Sayang kumismu jarang, kalau panjang dan lebat saya sudah
gemetar.
198.PEMUDA : Betul, uang saya ketinggalan.
199.SI KURUS : Bohong!
200.PEMUDA : Sungguh.
201.SI KURUS : bohong. Kau tadi sudah bohong
sebab itupun kau pasti pembohong.
202.PEMUDA : Percayalah mas, kalau saya
berbohong………
203.SI KURUS : (memotong) Bohong. Bohong kau……
(geram hendak memukul pemuda itu tetapi tiba-tiba ia mengurungkan niatnya) Saya
percaya kau adalah manusia, bukan binatang. Saya jadi ingat saudara saya
sendiri. Seperti sekarang juga saya merasa parah dalam hati. Waktu itu saya
tidak bisa menahan diri lagi sebenarnya, tetapi saya juga mengerti bahwa
saudara saya itu mesti masuk penjara, sebab ia telah melakukan kejahatan yang
kubenci, tapi saya merasa parah dan tetap benci akan apa yang berbau
ketidakjujuran. Sekarang terus terang saja mau bayar atau tidak?
DARI PINTU MUNCULLAH SI KACAMATA, SI
TUA, DAN LAIN-LAIN, YANG TAK HADIR HANYA SI PENDEK.
204.SI
KACAMATA: Ada apa?
205.SI PECI: Makan tidak bayar.
206.SI TUA: Siapa, pemuda ini?
207.SI PECI: Ya, pemuda ini?
208.SI
KACAMATA: Segagah ini?
209.SI PECI: Kalau
tidak gagah barangkali tidak berani ia menipu (pada pemuda) Hei, pemuda. Kau punya
uang tidak?
210.PEMUDA:
(lama) Punya.
211.SI PECI: Nah, kenapa mesti tidak
bayar?
212.PEMUDA:
Uang saya ketinggalan.
213.SI PECI:
Ketinggalan? Lebih baik tidak usah berbohong. Kalau bersikeras semua orang akan
mengempalkan tangannya dan darah akan mengotori mukamu nanti. Bayar atau…
214.PEMUDA:
Uang saya ketinggalan.
215.SI KURUS:
Ketinggalan-ketinggalan. Sekarang mengakulah. Kau mau
menipu ya?
216.SI PECI: Punya uang tidak?
217.SI
KURUS: Mengaku.
218.SI PECI: Kau pasti tidak punya
uang.
219.SI KURUS: Dan kau mengaku penipu.
220.SI TUA: Nah, bilang saja terus
terang, jangan kau sakiti badanmu sendiri.
221.SI KACAMATA:
Sudah kawan-kawan, saya yakin dia tidak beruang. Tapi….. Sebab itu lebih baik
ia menanggalkan celananya saja. Kalau memang dia berduit tentu ia nanti boleh
mengambil celananya kembali. Jadi celananya jadi jaminan.
Bagaimana?
222.SI PECI: Ya, lebih baik begitu,
semua orang setuju.
223.SI
KURUS: Tanggalkan pakaianmu.
224.PEMUDA:
Saya malu.
225.SI KURUS:
Tidak, kau tidak punya malu. Kau tidak malu makan tidak bayar. Tanggalkan
celanamu! Tanggalkan!
226.SI PECI:
Cepat!
227.PEMUDA: Saya tidak pakai celana
dalam.
228.SI KURUS: Bohong, kau pembohong
sebab itu kau pembohong.
229.PEMUDA: Sungguh mati. Demi Tuhan,
tentang celana dalam saya tidak berbohong. Kalau saya menanggalkan pantalon
saya, saya telanjang. Oh, sungguh saya tidak tahu bagaimana saya mengatakannya.
Dan tentu saja sayapun tak dapat membuktikannya. Percayalah kalau saya membuka
celana, akan telanjanglah saya.
230.SI KURUS: Sejak tadi kau sedang
menelanjangi dirimu sendiri dan kau diam-diam telah memberi api pada setiap
orang yang telah melihatmu.
TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN JURAGAN
BATIK BERSAMA PEMBANTU YANG MEMAYUNGINYA MUNCUL DAN IA TERTARIK UNTUK MELIHAT
KEJADIAN ITU.
231.PEREMPUAN: (dengan yang nyata-nyata
dibuat-buat ia bicara pada si kacamata) Ada apa to dik?
232.SI KACAMATA: Makan tidak bayar.
233.PEREMPUAN:
Siapa?
234.SI KACAMATA: Si pemuda ini.
235.PEREMPUAN:
O, lalu?
236.SI KACAMATA: Mula-mula dia mau
menipu pura-pura akan mengambil uang yang katanya ketinggalan tetapi agaknya
dia berbohong. Sebab itu kami sepakat kalau ia menanggalkan celananya untuk
pengganti uang atau untuk jaminan kalau memang dia punya uang.
237.PEREMPUAN:
Berapa tho, habisnya?
238.SI
KACAMATA: Berapa dik?
239.SI KURUS: Delapan puluh rupiah.
240.PEREMPUAN: Ah, sedikit. Baiklah,
jangan ribut-ribut. Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus
rupiah.
241.SI KURUS: Nanti dulu, Mbakyu.
Mbakyu bilang kasihan padanya, sehingga mendorong rasa kasihan Mbakyu untuk
membayarnya. Tidak, tidak, saya tidak tersinggung. Sayapun memang kalau delapan
puluh itu sedikit dan saya juga dapat atau siapa saja masih mampu memberi, tapi
bukan itu soalnya. Kalau Mbakyu kasihan padanya sama seperti Mbakyu membantu
melahirkan seorang bandit di tanah kewalian ini. Saya juga maklum, apa yang
Mbakyu lakukan itu mulia, tapi hal yang mulia juga minta tempat dan saat yang
tepat. Dan sekarang saat tidak minta yang sejenis itu. Apa yang kami lakukan
sekarang adalah juga kemuliaan, meskipun menampakkan kekasaran dan penghinaan,
tetapi ia juga bersama kemuliaan yang diridhoi Tuhan. Dan jangan lupa saya dan
teman-teman di sini atau siapa saja juga mampu kalau berniat memberi anak
pemuda ini uang seratus rupiah, tetapi bukan itu soalnya.
242.SI PECI: Ya, itu soalnya.
243.SI
KACAMATA: Ya.
244.SI TUA:
(mengangguk-angguk)
TANPA MEMBERI REAKSI APA-APA PEREMPUAN
DAN PEMBANTUNYA PERGI MELANJUTKAN PERJALANAN.
245.SI PECI: Sombong benar perempuan
itu.
246.SI KURUS: Mau buka celana tidak?
247.PEMUDA:
(diam)
248.SI
KURUS: Baiklah, tadi saya sudah berkata dan saya percaya bahwa kau bukan
anjing, karenanya kau pasti memiliki rasa malu. Baik, sekarang bajumu saja kau
tanggalkan.
249.SI PECI: Ya, baju saja.
250.SI KACAMATA: Ya, baju saja.
251.SI PECI:
Ayo cepat.
252.SI TUA: Nah, sebentar lagi kalau
mata orang-orang di sini copot dan melotot, maka gemparlah di muka pabrik ini,
sebab ada seorang pemuda yang dipukuli ramai-ramai oleh orang banyak.
253.PEMUDA: Saya melepaskan baju saya,
Pak!
254.SI
KURUS: Lepaskan!
255.PEMUDA:
Saya tidak berkaos.
256.SI PECI: Tak perduli. Tanggalkan.
257.SI KURUS: Malu,
malu! Priyayi kamu? Ha? Tak berkaos malu, tapi berani menipu. Laknat kau
ini. Penipu bagi dirimu sendiri! Lepaskan!
258.PEMUDA: Saya akan melepaskan tapi
bukan baju melainkan sepatu.
259.SI PECI: Sepatu kain yang jebol
itu? Kau telah membuat dagelan yang lebih menjengkelkan lagi tau?
260.SI KACAMATA: Ya, satu rupiah tak
akan ada orang yang sudi membeli sepatu abunawas itu.
TIBA-TIBA TERDENGAR GEMURUH SUARA TRUK.
MENDEKAT DAN BERHENTI TIDAK JAUH DARI TEMPAT ITU.
261.SI KACAMATA: Nah, pak sopir datang.
Biarlah dia yang membereskannya biar tahu rasa kalau nanti lengannya sudah
dikilir oleh pak sopir.
262.SI SOPIR: Ada apa hah?
263.SI PECI: Makan tak bayar.
264.SI SOPIR: Si kecil ini?
265.SI KACAMATA: Ya, si kecil ini.
266.SI SOPIR: (pada
pemuda) Oo, sudah kenyang, hah? Terlalu pagi. Matahari masih terlalu rendah
untuk dikhianati. (pada si peci) Lalu, akan kita apakan dia?
267.SI PECI: Ia harus menanggalkan
bajunya.
268.SI SOPIR:
Begitu semestinya. Lebih baik makan baju daripada makan tidak bayar, bukan? Lalu?
269.SI PECI: Ia menolak melepaskan
bajunya.
270.SI SOPIR: Itu tidak adil, ia bisa
menolak untuk telanjang badan tapi ia makan tanpa bayar seenaknya. Itu tidak
adil. (pada pemuda) He, anak muda. Kau pemuda Indonesia, bukan? Tidak, jangan
mengangguk! Kalau kau meng-iya-kan pertanyaan saya kau sama dengan mengatakan
bahwa pemuda Indonesia itu dibolehkan makan di warung tanpa bayar. Tidak, tanah
ini akan menangis mendengar cerita itu. Dengarkan! Dulu waktu sehabis perang
saya juga pernah menjadi pencopet, tanpa perduli lagi. Tapi malang rupanya
tangan ini terlampau kasar sehingga tangan ini lebih suka diborgol, dalam
penjara. Nah, di tempat yang sepi itu aku mengakui bahwa aku telah menyakiti
orang, menyakiti hati dari tanah yang kita cintai ini dan pasti Tuhan akan
menutup pintuNya bagi orang semacam aku. Sebab itulah setelah aku keluar dari
rumah yang baik dan mulia itu, kemudian aku menjadi lebih maklum bahwa kita tak
boleh berbuat jahat. Tidak, jangan. Tapi dengarlah lagi! Kau tahu, kalau kau berjalan
ke arah barat dari arah sini kau akan sampai pada sebuah perempatan, di mana
berdiri beberapa batang pohon beringin. Kau tentu sudah tahu di belakang pohon
beringin itu berderet asrama. Dan kau tahu asrama apa itu? (lama) Asrama
Polisi! Nah, kau suka kuantarkan ke asrama itu?
271.PEMUDA:
(diam)
272.SI SOPIR: Suka!
Tentu tidak, ya? Nah, copot bajumu!
273.PEMUDA:
Saya malu.
274.SI SOPIR: Jangan malu-malu (keras)
copot!
PEMUDA MENANGGALKAN BAJUNYA PADA SI
PECI.
275.SI PECI:
(menyerahkan baju kepada Simbok) Simpanlah baju ini Mbok. Nanti kalau
ia kembali membawa uang berikan baju ini.
276.SI SOPIR: Beres
sudah! Ayolah, kita bekerja sekarang. Habis waktunya terbuang.
ORANG-ORANG PERGI, MASUK KE DALAM
PABRIK. KECUALI SI SOPIR YANG PERGI KE ARAH DARI MANA IA MUNCUL TADI. TAPI
BELUM LAMA DUA LANGKAH ORANG-ORANG BERGERAK TIBA-TIBA….
277.SI KURUS: Saya kira kalau baju itu
disimpan Simbok sekarang niscaya kurang aman. Lebih baik baju itu dititipkan
pada Abduh yang kerjanya dekat jendela.
278.SI PECI:
Baiklah, Mbok, saya membawa bajunya ke dalam. Kalau ada apa-apa panggillah
saya. (menerima baju)
BERES SUDAH……ORANG-ORANG SUDAH MULAI
BEKERJA, DI HALAMAN ADA SIMBOK DAN SI PEMUDA. GEMURUH MESIN KEMBALI NYATA.
LEWAT SEORANG PEREMPUAN MENJAJAKAN JENANG GENDUL. SANGAT
NYARING SUARANYA.
279.PEMUDA: Mbok,
mula-mula maksud saya tidak akan menipu. Sesudah dua hari ini saya hanya minum
air mentah saja. Tidak makan apa-apa.
280.SIMBOK:
(diam)
281.PEMUDA: Seminggu yang lalu saya
masih di Klaten, bekerja di sebuah bengkel. Ya aku tidak cukup dapat makan.
Sebab itulah aku mencari pekerjaan di sini.
282.SIMBOK:
(diam)
283.PEMUDA:
Asalku sendiri dari desa, desa yang wilayahnya di gunung kidul, Wonogiri. Juga
Mbok pun tahu tanah macam apa yang menguasai tanah macam gunung kidul itu. Tanah tandus.
Tanah yang tidak mengkaruniakan buah bagi mulut yang papa. Sebab itulah aku
turun dan mengembara sampai ke pesisir utara ini. Tapi jarak selatan sampai ke pesisir
utara tidak juga memberikan apa-apa. Karenanya aku terus menyusuri ke Barat, ke
tanah wali ini, dengan harapan tanah serta rumah di kota ini akan sudi memberi
makan saya. Tujuh hari sudah saya disini dan dua hari sudah saya lapar. Dan
pada hari ketiga kelaparan saya membawa saya kemari ke tempat Mbok berjualan
pecel. Tidak, saya tidak bermaksud menipu. Sekali-kali tidak (menengadah)
Tuhan, kutuklah aku!
284.SIMBOK:
(bangkit dan bergerak menuju jendela dan berseru) Abduh! Abduh!
285.SI PECI: (di jendela) Ada apa Mbok?
286.SIMBOK:
Mana baju tadi?
287.SI PECI:
Dia membawa uang?
288.SIMBOK: Tidak, baju itu akan saya
bawa ke pasar, saya jual.
289.SI PECI: Nanti direbut oleh anak
itu lagi.
290.SIMBOK:
Tidak, kemarikan saja.
291.SI PECI: Baiklah (lenyap dari
jendela, kemudian Simbok menerima baju tadi lewat jendela)
292.PEMUDA: Ya, Mbok sebelum saya
memesan nasi pecel tadi saya sudah berjanji pada diri sendiri, tidak, saya
harus membayar! Entah kapan saja tapi harus bayar. Demi Allah, hukumlah saya.
Ya, Mbok kalaupun saya pergi tak kembali kesini atau kapan saja saya pasti
kemari untuk membayar makan saya. Ibu saya mengajarkan kejujuran dan hukum
bahwa, bekerja artinya tenaga, bahwa bekerja artinya makan. Hal itu kusadari
sejak aku mulai tahu bahwa tanah tempat saya berpijak sangat keras, begitu
angkuh dan tandus.
293.SIMBOK: (memberikan baju tanpa
berkata apa-apa)
294.PEMUDA: Tidak Mbok, bukan maksud
saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan saya hanya ingin
mengatakan bahwa hati saya bersih. Terhadap baju itu sudah rela dan paham bahwa
barang itu patut saya berikan pada Simbok sebagai ganti makanan yang telah saya
makan.
295.SIMBOK:
Terimalah.
296.PEMUDA:
tidak.
297.SIMBOK:
Terimalah.
298.PEMUDA:
tidak.
299.SIMBOK:
Terimalah.
300.PEMUDA:
Mbok percayalah.
301.SIMBOK: Saya percaya sebab itu kau
harus mau menerima baju kembali.
302.PEMUDA: Tapi
baju ini bukan milikku lagi. Ibu bilang aku tidak boleh memiliki barang
kepunyaan orang lain. Tidak… Ada air mata di mata Simbok.
303.SIMBOK:
Tidak.
304.PEMUDA: Saya
tidak tahan melihat orang menangis, meskipun ibuku senantiasa menangis setiap
malam. Dan sekarang hanya tinggal tangisnya belaka sebab itu telah lewat. Simbok
kasihan pada saya lalu menangis? Tidak!
305.SIMBOK: Tidak, saya ingat anak
saya.
306.PEMUDA:
Simbok punya anak?
307.SIMBOK: Ya, satu-satunya, jantan
yang cantik.
308.PEMUDA:
Dimana sekarang?
309.SIMBOK:
Di sini.
310.PEMUDA:
Di sini?
311.SIMBOK: Di Kendal. Di PENJARA.
312.PEMUDA:
Ha?
313.SIMBOK: Ya, sayapun tak pernah
menyangka, anak saya itu akan menjadi pencuri sepeda. Tidak, saya cukup memberi
ia makan. Tapi barangkali disebabkan pergaulannya atau barangkali saya salah
mengajar atau mendidik dia atau…..atau…..atau…. Oh, saya tidak tahu. Tapi aku
tahu dan percaya matamu lain dengan matanya. Saya melihat matamu bening, sebab
itu saya yakin kau tidak seperti anak saya. Kau seperti kemenakan saya. Kau
pasti…Kau pasti anak baik. (tiba-tiba) Akh, cepat terimalah baju ini dan
segeralah kau pergi dari tempat ini sebelum penjaga malam sampai kemari.
314.PEMUDA: (menerima baju itu)
baiklah. Terima kasih dan selamat tinggal Mbok.
BEGITU IA LENYAP, MUNCUL PENJAGA MALAM
YANG TAMPAK BARU SELESAI MANDI. IA TAMPAK KEDINGINAN.
315.PENJAGA MALAM: Minta pecel yang
pedes (kedinginan). Katanya tadi ada pemuda yang mau menipu?
316.SIMBOK: (tak begitu acuh) Ya.
317.PEMJAGA
MALAM: Bagaimana tampangnya?
318.SIMBOK:
Kurus dan cantik.
319.PENJAGA MALAM: Pakai baju lurik.
320.SIMBOK: Ya, kalau tidak salah.
321.PENJAGA MALAM:
Bajigur! Bajigur! Kurang ajar dia. Tapi dia tak jadi menipu di sini bukan? Kemana ia?
Jangkrik anak itu! Belut!
322.SIMBOK: Ada apa? Ada apa?
323.PENJAGA MALAM: Pasti dia. Kemarin
malam dia juga menipu di sebuah warung di pasar Kauman.
324.SIMBOK: Haa….? (menelan ludah) Ya,
Allah.
LANGIT DI ATAS MULAI KOTOR OLEH NAFAS
MANUSIA DAN LALU LINTASPUN MULAI LEBIH RAMAI. SEORANG ANAK LAKI-LAKI MENJAJAKAN
ES LILIN LEWAT, TANDA HARI SUDAH SIANG. SUARANYA
NYARING, MENYEMBUL DI SELA-SELA KESIBUKAN.
--- TAMAT ---
·
Unsur Instrinsik
1.
Tema
Dalam naskah drama berjudul
“Matahari di Sebuah Jalan Kecil” bertema tentang kehidupan sosial masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan percakapan antar tokoh yang berbicara tentang bahan
pokok yang naik, korupsi yang merajalela, gaji yang tidak naik, ekonomi yang
sulit hingga adanya penipuan dimana-mana.
2.
Tokoh dan Penokohan
a) Penjaga Malam: Memiliki pribadi yang
suka mengeluh. Bukti, “Uuuuuh, gara-gara pencuri, aku jadi kesiangan.”
b) Si Pendek: Memiliki pikiran yang jauh kedepan.
Si Pendek tidak suka mengeluh deengan keadaan. Bukti, “…Menurut saya, sangat tidak baik kalau
kita tak henti-hentinya mengeluh sementara masalah yang lebih penting pada
waktu ini sedang gawat menantang kita ...”
Si
Pendek juga pejuang tangguh hal ini dibuktikan bahwa dia mengajak
teman-temannya untuk bekerja lebih giat lagi. Bukti, “apalagi melamun
dan mengkhayal, sekarang yang penting kita bekerja, bekerja yang keras.”
c) Si Tua: Memiliki pribadi yang suka
mengeluh. Bukti, “Dulu (batuk-batuk), dulu saya hanya membutuhkan uang
sepeser untuk sebungkus nasi.”
Si
tua juga terpaku pada masalalu dan membanding-bandingkan masalalu dengan
sekarang. Bukti, “Ya, jaman Belanda. Untuk sehelai kemeja saya hanya
membutuhkan uang sehelai rupiah.”
Hal
ini dapat menunjukkan alasan penulis memberi nama Si Tua. Sesuai sifatnya yang
berpikiran kolot seperti orang tua dan terpaku pada hal-hal masa lalu
d) Simbok: Merupakan tokoh utama dalam
drama ini. Simbok yang mendapat suatu masalah yang membuat drama ini memiliki konflik. Dalam
drama ini simbok merupakan penjual pecel yang berjualan di area pabrik. Simbok
memiliki karakter keibuan yang kuat. Hal ini dibuktikan dengan sifatnya yang
tidak tega saat pemuda menceritakan kehidupannya simbok teringat anaknya. Hal
ini juga menunjukkan bahwa simbok memiliki hati yang lembut dan mudah iba seperti ibu-ibu pada
umumnya. Dapat dibuktikan dengan beberapa percakapannya, “Tidak, saya
ingat anak saya.”,
“Saya percaya sebab itu kau harus mau menerima baju kembali.”
Selain
itu simbok juga memiliki sifat yang tidak teliti tetap segala sesuatu. Simbok
tidak langsung mudah tertipu sebelum akhirnya hatinya luluh Bukti, “Hei, nanti
dulu. Bayarlah baru kau boleh pergi.”
e) Si Peci: Memiliki sikap penyelidik
dan kritis terhadap apa yang dihadapinya hal ini terbukti dengan beberapa
percakapannya, “Kenapa tidak membayar?” “Ketinggalan di mana?”
Selain
itu si Peci cukup tegas, saat meminta baju pemuda sebagai jaminan kemudian si
pemuda berkata bahwa ia tidak berkaos tapi si peci tetap memaksa meminta.
Bukti, “Tak perduli. Tanggalkan.”
f) Si Kurus: Memiliki sikap paling
cepat tanggap. Hal ini buktikan saat pertama keributan terjadi diantara pekerja
lain yang pertama peduli dengan keadaan tersebut adalah si kurus. Dia juga
memiliki sifat tegas saat menghadapi masalah dibuktikan dengan beberapa
dialognya, “Ya, tapi jangan main minggat-minggatan.”, “Simbok
mengijinkan?” ” Simbok
memperbolehkan engkau pergi?”
g) Si Kacamata: Memiliki pendirian yang
tidak kuat. Hal ini diperlihatkan dia sangat mengeluh dengan keadaan
perekonomian sekarang. Ia juga setuju saat salah satu temannya menjelaskan
bahwa kita harus berhati-hati dengan mulut yang licin. Tetapi saa temannya
mengajak untuk tidak mengeluh karena keadaan zaman sekarang lebih baik misalnya
sekarang semua orang dapat mendengarkan radio. Si kacamata juga setuju. Ia juga
suka berangan-angan, bukti percakapan, “Saya ingin anak saya memiiki yamaha bebek.”
h) Pemuda: Pemuda merupakan actor utama
dalam cerita ini. Ia sebagai tokoh yang memicu adanya permasalahan dalam drama
tersebut. Pemuda ini adalah pembohong, namun sangat dapat mempengaruhi atau
meyakinkan tokoh lain. Bahkan saat diinterogasi warga setempat dia mampu
menjawab banyak pertanyaan. Saat beberapa kali dia salah menjawab dia masih
bisa tenang memberi alasan bahwa ia orang baru dikampung tersebut. Hal ini
memperlihatkan bahwa ia sangat pandai berbicara. Bukti percakapan. Dia juga
bermuka dua untuk berakting didepan simbok agar menyerahkan baju yang disitanya
tanpa syarat. “Saya mau membayar, uang saya ketinggalan.” (pandai beralasan), “Saya orang
baru.” (pandai mengelak), “Tidak Mbok,
bukan maksud saya minta dikasihani, saya hanya ingin menceritakan dan saya
hanya ingin mengatakan bahwa hati saya bersih.” Meyakinkan korbannya untuk dibohongi lagi
i) Perempuan: Dia seorang tokoh
sampingan yang menggangap remeh permasalahan tapi juga mudah kasian kepada
orang lain. Bukti percakapan, “Ah, sedikit. Baiklah, jangan ribut-ribut.
Kasihan. (mengambil uang dari tasnya) Ini Mbok seratus rupiah” penulis juga menyiratkan bahwa ia
tidak begitu peduli. Setelah membayar uang ia berlalu begitu saja.
j) Si Sopir: orang
yang bijaksana ia menasehati pemuda dengan memberi cerita hidupnya sediri dengan
pelajaran-pelajaran yang berharga. Dia seorang mampu mengambil hikmah dari
kehidupan masalalunya. Dia juga seorang yang tegas, bukti “Jangan malu-malu (keras) copot!”
3.
Alur
Dalam naskah drama ini menggunakan alur maju dan padat
dikarenakan penulis mencerikan peristiwa runtut maju tanpa menarik pembaca
untuk dibawa ke masa lalu.
4.
Latar
Latar tempat : Kendal,
Warung Pecel depan pabrik es
Latar waktu : Pagi
menjelang siang hari
Latar
ruang : Pada saat adanya aktivitas dari para pekerja pabrik
sedang beristirahat makan.
5.
Sudut Pandang
Penulis memposisikan dirinya sebagai orang
ketiga, karena pencerita tidak terlibat langsung dalam cerita.
6.
Amanat
Pesan moral dalam naskah ini ialah kejujuran
tetaplah kejujuran kita dianjurkan untuk selalu jujur dalam
semua sisi dan sendi kehidupan. Kebohongan sekecil apapun harus diberi sanksi.
Karena sekali kebohongan dibiarkan maka akan terus menerus dilakukan.
·
Unsur Ekstrinsik
1.
Latar Belakang Pengarang
a)
Biografi
Arifin
C. NoerDilahirkan di Cirebon 10 Maret 1941, meninggal di Jakarta 28 Mei 1995.
Penyair yang juga dramawan dan sutradara film ini menulis sanjak Dalam Langgar,
Dalam Langgar Purwadinatan, naskah drama Telah Datang Ia, Telah Pergi Ia ,
Matahari di Sebuah Jalan Kecil , Monolog Prita Istri Kita dan Kasir
Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979).
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
Kita (1972, Tengul (1973), Kapai-kapai (1970), Mega-mega (1966), Umang-umang (1976), Sumur Tanpa Dasar (1975), Orkes Madun, Aa Ii Uu, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi, Ozon. Karya-karyanya yang lain: Nurul Aini (1963); Siti Aisah (1964); Puisi-puisi yang Kehilangan Puisi-puisi (1967); Selamat pagi, Jajang (1979); Nyanyian Sepi (1995); drama Lampu Neon (1963); Sepasang Pengantin (1968); Sandek,Pemuda Pekerja (1979).
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar; Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974); Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun 1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah Sastra ASEAN.
2.
Nilai – Nilai Psikologis
Nilai-nilai
psikologis dalam naskah drama “Matahari Di Sebuah Jalan Kecil” karya “Arifin C
Noor”. Tema naskah drama jika dilihat dari nilai psikologi Abnormal yaitu
Penghakiman seorang yang berbohong. Konflik dalam naskah drama jika dilihat
dari nilai psikologi Pria dan Wanita yaitu Si Mbok mempunyai konflik yang
sangat tajam dengan seorang Pemuda, begitu pula sebaliknya dengan Pemuda
mempunyai konflik tajam dengan Si Mbok, laki-laki cenderung menggunakan ego
dirinya sendiri tanpa berfikir jalan keluar yang terbaik. Karakter tokoh dalam
naskah drama “Matahari Di Sebuah Jalan Kecil” karya “Arifin C Noor” jika
dilihat dari nilai Psikologi. Penjaga Malam mempunyai kepribadian seseorang
yang selalu mengeluh, Si Pendek mempunyai kepribadian seseorang yang bijaksana,
Si Tua mempunyai kepribadian selalu mengeluh, Si Mbok mempunyai kepribadian
seorang sosok penyabar, Si Kacamata mempunyai kepribadian selalu mengambil
keputusan dengan tidak melihat perasaan orang lain, Si Kurus mempunyai
kepribadian dia adalah orang yang bijaksana, Pemuda mempunyai kepribadian
seseorang yang berbohong, Si Sopir mempunyai kepribadian bijaksana, Perempuan
mempunyai kepribadian peduli pada nasib orang lain, dan Si Peci mempunyai
kepribadian selalu ikut campur masalah orang lain. Karakter tokoh Pemuda jika
dikaitkan dengan Psikologi Abnormal yaitu perilaku menyimpang berani menipu dan
berbohong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar