Rabu, 25 Desember 2019

Resensi Novel "Hafalan Shalat Delisa" karya Tere Liye


Resensi Novel “Hafalan Shalat Delisa”

Judul : Hafalan Shalat Delisa
Pengarang : Tere Liye
Tebal Buku : v + 248 halaman
Penerbit : Republika
Cetakan : VI, Januari 2008

Ringkasan:
     Novel ini menceritakan seorang anak perempuan bernama Delisa yang tinggal di Aceh yang berumur enam tahun. Delisa adalah seorang anak yang polos dan suka bertanya. Ia tinggal bersama Umi dan ketiga kakaknya. Ia anak bungsu dari empat bersaudara dalam keluarganya, kakak-kakaknya bernama Cut Fatimah, Cut Zahra, dan Cut Aisyah. Ia anak dari abinya yang bernama Usman dan uminya bernama Salamah. Abinya tidak berada di Aceh dikarenakan harus mencari nafkah untuk keluarganya.
     Delisa seorang anak sekolah yang lugu. Ia suka bermain dengan kakak-kakaknya dan teman-temannya. Ia juga taat beribadah. Ketika Delisa mendapatkan tugas dari Ibu Guru Nur, yaitu tugas menghafal bacaan sholat. Lalu, ia bercerita tentang tugas itu kepada uminya. Supaya Delisa semangat menghafal, Uminya memberi motivasi yang berjanji akan memberikan hadiah jika ia berhasil menghafalkan bacaan sholat.
     Ketika di toko perhiasan, Delisa disuruh memilih kalung. Kalung pilihan Delisa terdapat liontin D untuk Delisa, sedangkan Abi akan membelikan sepeda untuk hafalan sholatnya jikalau lulus. Sehingga Delisa semakin semangat menghafal.
     Pagi itu hari minggu tanggal 24 Desember 2004, Delisa mempraktikkan hafalan sholatnya di depan kelas. Tiba-tiba Gempa bumi berkekuatan 8,9 SR yang disertai tsunami melanda Aceh.   Seketika keadaan berubah. Ketakutan dan kecemasan menerpa setiap jiwa saat itu. Salah satunya Umi Salamah yang terus menerus memanggil nama Delisa. Namun, Delisa tetap melanjutkan hafalan sholatnya. Ketika hendak sujud yang pertama, air itu telah menghanyutkan semua yang ada, menghempaskan Delisa. Shalat Delisa belum sempurna. Delisa kehilangan Ummi dan kakak-kakaknya. Enam hari Delisa tergolek antara sadar dan tidak. Ketika tubuhnya ditemukan oleh prajurit Smith yang kemudian menjadi mu’alaf dan berganti nama menjadi prajurit Salam. Bahkan pancaran cahaya Delisa telah mampu memberikan hidayah pada Smith untuk bermu’alaf.
     Beberapa waktu lamanya Delisa tidak sadarkan diri, keadaannya tidak kunjung membaik juga tidak sebaliknya. Sampai ketika seorang ibu yang di rawat sebelahnya melakukan sholat tahajud, pada bacaan sholat dimana hari itu hafalan shalat Delisa terputus, kesadaran dan kesehatan Delisa terbangun. Kaki Delisa harus diamputasi. Delisa menerima tanpa mengeluh. Luka jahitan dan lebam disekujur tubuhnya tidak membuatnya berputus asa. Bahkan kondisi ini telah membawa ke pertemuan dengan Abinya. Pertemuan yang mengharukan. Abi tidak menyangka Delisa lebih kuat menerima semuanya. Menerima takdir yang telah digariskan oleh Allah.
Beberapa bulan setelah kejadian tsunami yang melanda Aceh, Delisa sudah bisa menerima keadaan itu. Ia memulai kembali kehidupan dari awal bersama abinya. Hidup di barak pengungsian yang didirikan sukarelawan lokal maupun asing. Hidup dengan orang-orang yang senasib, mereka korban tsunami yang kehilangan keluarga, sahabat, teman dan orang-orang terdekat. Beberapa bulan kemudian, Delisa mulai masuk sekolah kembali. Sekolah yang dibuka oleh tenaga sukarelawan. Delisa ingin menghafal bacaan sholatnya. Akan tetapi susah, tampak lebih rumit dari sebelumnya. Delisa benar-benar lupa, tidak bisa mengingatnya. Lupa juga akan kalung berliontin D untuk delisa, lupa akan sepeda yang di janjikan abi. Delisa hanya ingin menghafal bacaan sholatnya.
     Akhir dari novel ini, Delisa mendapatkan kembali hafalan sholatnya. Sebelumnya malam itu Delisa bermimpi bertemu dengan umminya, yang menunjukkan kalung itu dan permintaan untuk menyelesaikan tugas menghafal bacaan sholatnya. Kekuatan itu telah membawa Delisa pada kemudahan menghafalnya. Delisa mampu melakukan Sholat Asharnya dengan sempurna untuk pertama kalinya, tanpa ada yang terlupa dan terbalik. Hafalan sholat karena Allah, bukan karena sebatang coklat, sebuah kalung, ataupun sepeda. Suatu ketika, Delisa sedang mencuci tangan di tepian sungai, Delisa melihat ada pantulan cahaya matahari sore dari sebuah benda, cahaya itu menarik perhatian Delisa untuk mendekat. Delisa menemukan kalung D untuk Delisa dalam genggaman tangan manusia yang sudah tinggal tulang. Tangan manusia yang sudah tinggal tulang itu tidak lain adalah milik Ummi Delisa. Delisa sangat terkejut.
Komentar:
Keunggulan dari buku ini, yaitu ceritanya yang dapat diterima semua kalangan dan bahasanya mudah dimengerti. Kekurangan dari buku ini ialah masih ada kata yang kurang dapat dipahami atau dimengerti oleh beberapa kalangan, seperti bahasa daerah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar