Resensi Novel “Pingkan
Melipat Jarak”
Judul
: Pingkan Melipat Jarak (Trilogi Hujan Bulan Juni #2)
Penulis : Sapardi Djoko Damono (2017)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : Paperback, vi+121 halaman
Penulis : Sapardi Djoko Damono (2017)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : Paperback, vi+121 halaman
Ringkasan:
Berawal dari ayahnya yang
membawa benda antik berupa cermin ke Jawa yang telah puluhan tahun dipakai
Hartini. Cermin itu benda keramat.
Sudah lebih
dari sejam Pingkan berada didepan cermin itu. Setiap ia bercermin, ia ingat
kata ibunya bahwa cermin. Itu sudah dipakainya sejak ia rmaja di Makassar.
Setelah 1 jam terdiam, untuk pertama kalinya ia bayangkan seperti apa raut muka
ibunya sebelum pindah ke Jawa. Tetapi, tidak ada wajah Ibunya di cermin sore
itu. Hanya wajahnya sendiri yang menjadi setua ibunya. Tiba – tiba, dari dalam
cermin itu ibunya muncul membuka pintu kamar, berdiri menatapnya tanpa
mengucapkan sepatah kata. Dan ternyata itu bukan ibunya, tetapi hanya bayangan
saja.
Pingkan
ingin sering menutup mata dan telinga agar batas maya itu tidak ada, agar
segalanya ada disini dan terjadi saat itu juga.
Ternyata
ada laki-laki pemuda Jepang yang bernama Katsuo. Pemuda ini jatuh cinta dengan
Pingkan.
Malamnya,
Ibu Pelenkahu, Ibu dari Pingkan, mengajak Pingkan dengan suara tegas. Seketika
Pingkan langsung menuruti perintah dari ibunya. Dan ternyata Katsuo menunggu di
rumah sakit. Tetapi, Pingkan tidak begitu memperhatikan mengapa Katsuo di rumah
sakit. Ketika ia keluar dari kamar, ia menuju teras, dilihatnya foto-foto yang
menempel di dinding. Foto-foto tersebut ialah foto dari keluarga Pingkan. Ada
ayah, ibu, Toar, dan Pingkan di dalam foto tersebut. Lalu Pingkan menghentikan
langkahnya. Ia ingat jika ia belum mengganti pakaiannya, ia mencari jaketnya.
Setelah itu, Pingkan dan ibunya pergi menggunakan kereta untuk menemui Bu Hadi
yang merupakan ibu dari Sarwono. Sarwono ialah lelaki yang dicintai Pingkan.
Suatu pagi,
Katsuo sudah berada dirumah Pingkan. Ia mengungkapkan kekhawatirannya pada
Pingkan. Ketika itu, Ibu Palenkahu sedang berada di dapur dan mendengar
pembicaraan mereka berdua. Ibunya sangat ketakutan lalu ia menangis. Ia takut
kehilangan anaknya seperti kehilangan ayahnya dulu. Pingkan mengetahui hal itu,
lalu ia memeluk ibunya dan mengatakan bahwa ia tidak akan pergi meninggalkan
ibunya.
Katsuo
ialah pemuda yang diam-diam mencintai Pingkan. Disamping itu, Katsuo juga sudah
berjanji pada ibunya ia akan menerima gadis Jepang. Tetapi, Katsuo ingin selalu
bersama dengan Pingkan. Dan dirancangan akalnya, gadis itu akan ia ajak
melanjutkan studi di Kyoto.
Ternyata
Pingkan gagal menemui Sarwono dirumah. Sebab Pak Hadi, ayah Sarwono
melarangnya. Tetapi Pingkan tetap diajak Bu Hadi ke rumah Sarwono dan disana
Sarwono mengira Pingkan itu Galuh. Padahal Pingkan tidak mengenali Galuh itu
siapa.
Katsuo
berusaha menghubungi Pingkan melalui berbagai aplikasi tetapi gagal. Maksud
darinya ingin melindungi Pingkan dari Pak Hadi yang rencananya ingin membawa
Sarwono ke Jakarta atau Jepang.
Katsuo telah
menjelaskan betapa pentingnya peran Sarwono jika bisa membantu Universitas
untuk mengembangkan penelitian, terutama yang berkaitan dengan pergeseran
masyarakat pra-modern ke modern di negara berkembang.
Katsuo
sempat ditanya oleh Sensei tentang perasaannya kepada Pingkan. Tetapi ia tidak
bisa menjawab. Sebab, ia ingat pesan ibunya untuk menikahi gadis yang sejak
kecil dikenalnya di Okinawa. Meskipun demikian, Pingkan telah menjadi bagian
dari hidupnya.
Sejak ia
mengenal Pingkan ketika masih menjadi mahasiswa di Kyoto beberapa tahun yang
lalu, ia merasa Pingkan adalah cinta pandangan pertamanya. Namun setelah ia
mendengar kabar jika Sarwono akan menjadi calon suami gadis itu, ia berusaha
untuk tidak menghubungi Pingkan. Dan kembali berjanji untuk menikahi Noriko,
gadis yang diinginkan ibunya.
Pak Hadi
juga menginginkan agar Pingkan berada dalam pengawasan istrinya, selama Sarwono
masih berada di rumah sakit. Hanya dengan cara itu, mereka bisa dipisahkan.
Katsuo juga
tidak menginginkan hubungannya dengan Pingkan terpisah. Ia tidak ingin
meninggalkan gadis itu sendirian menghadapi masalah yang berkaitan dengan
sakitnya Sarwono.
Pada suatu
ketika, Pingkan berada di pesawat terbang menuju Kyoto, beberapa hari kemudian
ia melipat kertas kecil dan membentuk origami.
Komentar:
Kelebihan
dari novel ini, penokohannya dipertegas. Tetapi kekurangannya memiliki ending
cerita atau akhir cerita yang kurang jelas. Sebab novel satu dengan lainnya
saling berkaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar